Tidak ada yang benar-benar lahir dari rahim ibu di Desa Simpang Air. Semuanya keluar dari liang ketakutan, dibalur air keramat, dililit doa yang dihafal lebih dulu ketimbang alfabet. Di sanalah, iman tumbuh bukan dari pencarian, tapi dari keturunan, turun-temurun seperti penyakit kulit yang diwariskan.
Jarot Kucai adalah satu-satunya anak yang lahir tanpa air kelapa muda di ubun-ubunnya. Sejak itulah semua orang yakin ini anak takkan tumbuh normal. Bahkan mungkin takkan tumbuh sebagai manusia.
Jarot Kucai baru tahu ia lahir tanpa prosedur ketika berumur tujuh. Waktu itu, ia bertanya polos kenapa ia tak punya kalung manik dari rambut ari-ari seperti anak-anak lain.
“Karena kau bukan anak normal,” kata ibunya. “Waktu kau lahir, bapakmu mimpi digigit kuda.”
“Bapak memang mirip kuda.”
Ibunya menamparnya. Tapi Jarot Kucai tidak menangis. Ia tertawa keras lalu berkata dengan senyum yang membuat bulu kuduk berdiri:
“Pantas saja aku tak bisa dijinakkan.”
Sejak hari itu, orang-orang di desa mulai menjaga jarak. Bukan karena Jarot Kucai berbahaya, tapi karena ia tidak takut. Dan di Simpang Air, tidak takut berarti tidak beriman. Pada usia sembilan, ia menolak mencium tangan guru ngaji. “Tangannya habis ngupil, aku lihat,” katanya.
Pada usia dua belas, ia menyebut dukun kampung sebagai tukang sulap gagal yang tak lulus SD. Pada usia lima belas, ia mengencingi patung leluhur yang konon menangkal petir. Patung itu, berbentuk lelaki tua renta tanpa wajah dan berdiri kaku di tengah balai desa. Konon, ia adalah kakek pertama dari garis keturunan Simpang Air. Jarot Kucai berdiri di depan patung itu dan membuka celananya.
“Kalian sembah batu ini seolah ia bisa menyelamatkan kalian dari kematian,” katanya sambil mengancingkan resleting. “Padahal kalau disiram bensin, ia juga bisa terbakar. Setidaknya aku memberi ia siraman terakhir yang hangat.”
Berita menyebar lebih cepat dari lalat di musim kemarau. Dua hari kemudian, rumah keluarganya dilempari batu. Seekor ayam mati digantung di pagar. Mbah Limi—dukun tua—berkata dalam mimpinya, Jarot adalah jelmaan setan yang menyusup lewat liang rahim manusia. Orang-orang bersorak setuju. Setan, tentu saja, adalah penjelasan yang paling masuk akal bagi seorang remaja yang berani bilang:
“Kalau Tuhan kalian benar-benar adil, kenapa dukun masih lebih kaya dari guru?”
Jarot Kucai tidak gentar. Ia duduk di warung kopi, menyeruput kopi hitam seperti orang dewasa yang sudah menyerah pada hidup. Di hadapannya, Pak Banu si tukang pos menggigit singkong goreng dengan gigi palsu yang gemetar.
“Kalau aku setan,” kata Jarot Kucai, “kenapa kalian masih hidup sampai sekarang? Atau jangan-jangan, kalian sudah mati tapi belum sadar?”
Tak ada yang berani menjawab. Beberapa menunduk. Sebagian menyedot kopi, seolah rasa pahit bisa membasuh pikiran mereka yang keruh.
Desa Simpang Air tidak pernah kekurangan orang gila yang dikira suci. Di antara 173 kepala keluarga, ada empat dukun tetap, dua paranormal, dan satu orang yang mengaku reinkarnasi Macan Gading—tokoh mitologi lokal yang konon bisa menyembuhkan penyakit dengan mencium dubur pasien. Nama yang disebut terakhir ini bernama Sukiman. Ia tambun, berambut gondrong, dan bau keringatnya seperti sarden basi disimpan di rak-rak seorang tua. Ia menyebut dirinya “Ki Sukiman Penjernih Jiwa”.
Malam itu, ketika bulan seolah sedang malas bersinar dan kabut turun seperti selimut tua dari langit, Jarot Kucai hadir di sebuah ritual pemanggilan arwah di rumah Ki Sukiman. Semua orang duduk melingkar, asap dupa mengepul, dan suara jampi terdengar seperti seseorang membaca puisi buruk dalam bahasa kematian.
“Arwah nenek Buyut Harum akan hadir malam ini,” kata Ki Sukiman, matanya terpejam, jari-jarinya bergetar seperti dedaunan tertiup angin.
Jarot berdiri. Ia melangkah ke tengah lingkaran. Udara mendadak tegang seperti celana dalam yang kekecilan.
“Kalau nenek Buyut Harum memang datang, suruh ia jawab satu pertanyaan, kenapa ia biarkan suaminya kawin empat padahal katanya ia dukun cinta?”
Keheningan jatuh seperti batu nisan. Ki Sukiman membuka matanya.
“Kau jangan menghina arwah.”
“Kalau arwahnya mudah tersinggung, mungkin ia belum layak mati.”
Seseorang melempar sandal. Jarot Kucai menangkisnya dengan ketawa.
Minggu berikutnya, Kiai Abdul dari pesantren tua di ujung desa mencoba menegurnya.
“Jarot, kau itu pintar,” katanya hati-hati, “kenapa tak kau gunakan akalmu untuk menyelami kebenaran?”
Jarot menatapnya tajam. “Akal justru bikin aku tak percaya kalian,” katanya. “Kalau kebenaran butuh ancaman neraka, itu bukan kebenaran. Itu premanisme spiritual.”
Kiai Abdul diam. Para santri melongo. Seekor kambing yang kebetulan lewat mengembik seolah ingin tertawa.
Jarot bukan cuma pemberontak. Ia semacam bom waktu. Tapi tak seperti bom yang meledak dalam sekejap. Ia menyusup perlahan, menggerogoti dinding kepercayaan orang seperti rayap dengan gigi filsafat.
Tapi semua itu membawanya ke satu hal: kesepian. Orang-orang menjauh. Anak-anak takut. Orang tua lebih takut. Ia sering duduk di bawah pohon nangka, membaca buku tebal yang dicuri dari perpustakaan kota. Kadang ia bicara sendiri, tertawa sendiri, atau meludah ke langit lalu berkata, “Coba tangkap, kalau kau memang Tuhan.” Mereka menyebutnya gila. Tapi di desa yang warasnya ditentukan oleh jumlah dupa yang dibakar, kegilaan mungkin adalah satu-satunya kewarasan sejati.
Malam itu hujan turun seperti air comberan yang tumpah dari langit. Ibunya duduk di sudut dapur yang bocor, menyembunyikan tangis di balik uap nasi.
“Kenapa kau tak bisa seperti anak-anak lain, Rot?” tanyanya. “Sedikit saja pura-pura percaya, supaya kita bisa hidup tenang.”
Jarot Kucai menatapnya. Wajah itu dulu hangat, namun kini seperti cermin retak yang tak berani menunjukkan pantulan utuh.
“Karena kebohongan yang kecil pun akan tumbuh jadi monster,” kata Jarot Kucai. “Dan aku tak ingin menjadi anak dari monster.”
Ibunya menangis. Tapi Jarot Kucai tak menghibur. Ia keluar rumah, berjalan dalam gelap, seperti tokoh novel yang tahu bahwa akhir bahagia hanya cocok di rak fiksi.
Jaro Kucai tahu, ia sedang menyulam nasibnya sendiri. Tapi tidak dengan benang emas. Ia pakai duri, ia pakai darah, ia pakai kutukan orang banyak. Dan saat langit menggertak dengan kilat, ia hanya menatap ke atas dan berkata:
“Petir pun tak berani menyambarku. Barangkali karena ia tahu aku tak takut mati, dan lebih buruk lagi aku tak takut hidup.”
Jarot Kucai masih hidup. Sayangnya, begitu juga para dukun.
Pagi itu di Desa Simpang Air, udara bau dupa dan kentut kambing yang disembelih terlalu dini menyeruak lari-larian. Warga berdatangan ke lapangan tanah merah, membawa sesajen, harapan, dan kebodohan yang diwariskan turun-temurun. Di tengah kerumunan berdiri Dukun Tarman, lelaki setengah botak yang mengaku bisa memanggil hujan dengan menari sambil menyiram abu mayat ke tanah. Orang-orang percaya padanya karena istrinya pernah kesurupan dan mulai bicara bahasa Belanda.
“Kalau doa kalian cukup kuat, langit akan menangis,” teriak Dukun Tarman.
Langit diam. Ia punya urusan lebih penting daripada menangis untuk manusia. Lalu datanglah Jarot Kucai—tak diundang, tak diminta, seperti bisul di ketiak perawan. Ia berjalan santai, membawa ember biru penuh air. Bajunya compang-camping, matanya menyala seperti seseorang yang tahu terlalu banyak dan peduli terlalu sedikit. Ia berhenti di tengah lapangan, menumpahkan isi ember ke tanah.
“Nah, hujannya sudah turun. Kalian boleh pulang.”
Warga terdiam. Seorang anak kecil bertepuk tangan. Ibunya menamparnya.
“Aku muak melihat kalian menyembah tanah sambil meludahi logika. Apa kalian pikir Tuhan lebih suka darah kambing daripada pipa air?” tanya Jarot Kucai.
Dukun Tarman mencoba membalas, tapi lidahnya kelu, entah karena kutukan atau karena tak pernah benar-benar membaca buku sejak lulus SD.
“Aku sumpahi kau, Jarot,” katanya.
“Kau tak perlu. Aku sudah dikutuk lahir di sini.”
Setelah insiden itu, desas-desus mulai merambat lebih cepat dari kencing bocah. Mereka bilang Jarot mencemari ritual, menggoda setan, bahkan tidur dengan makhluk halus bernama Nyi Lerek—roh wanita yang katanya tinggal di bawah jembatan dan suka menampar lelaki yang ejakulasi dini. Namun, Jarot tak peduli. Justru ia membuka sekolah kecil di bawah pohon nangka—pohon yang katanya pernah dipakai bunuh diri, dan karena itu dianggap keramat. Ia menyulapnya jadi ruang kelas tanpa dinding, tanpa papan tulis, hanya ada tanah, batu, dan mulut yang terlalu banyak bicara. Murid-muridnya adalah Anak-anak yang tak pernah ranking, yang selalu disuruh mencuci kaki dukun sebelum boleh main layangan.
“Hari ini kita belajar soal kenyataan,” kata Jarot Kucai, duduk bersila di depan mereka.
“Kenapa dukun bisa tahu jodoh tapi tak bisa tahu istrinya selingkuh?” tanya salah satu anak.
“Karena jodoh itu takdir, selingkuh itu fakta. Dan fakta selalu menyakitkan.”
Mereka tertawa. Sore itu, salah satu anak pulang dan bertanya pada ibunya: “Kalau Tuhan Maha Tahu, kenapa Ia masih kaget waktu Adam makan buah?”
Ibunya pingsan.
Ketika semua makin panas, muncullah sosok baru. Roro Nyiwang, perempuan berusia empat puluhan dengan mata besar seperti ikan asin. Ia mengaku bisa berbicara dengan leluhur dan pernah menikah secara gaib dengan Prabu Siliwangi. Ia memakai kebaya lusuh, kalung tengkorak ayam, dan aroma tubuhnya seperti dupa yang dipakai untuk mengusir jin mabuk.
Ia mendekati Jarot Kucai di suatu sore.
“Kau keras kepala, tapi aku lihat dalam jiwamu ada cahaya yang gelap,” katanya.
“Aku tidak butuh ramalan. Aku butuh listrik yang tak padam.”
“Kau tidak percaya hal gaib?”
“Aku percaya, tapi bukan untuk disembah,” jawab Jarot Kucai. “Cinta juga gaib, tapi lihat berapa banyak yang dikhianati.”
Roro Nyiwang menatapnya lama, lalu tersenyum seperti iblis yang melihat anak domba terjatuh ke jurang.
“Aku akan menolongmu. Tapi bantuan dari yang tak terlihat selalu meminta harga,” katanya, akhirnya.
“Aku juga meminta harga. Diamlah, atau aku sebar kabar buruk bahwa kau pernah joget Poco-Poco di nikahan mantanmu.”
Desa makin resah. Anak-anak makin kritis. Ibu-ibu mulai curiga pada air doa. Dukun kehilangan pasien, tukang pelet tak laku.
Di satu malam, patung leluhur di perempatan tiba-tiba menangis darah. Warga berteriak histeris. Mereka mencium tanah, bersujud, lalu menyalahkan satu nama.
“Ini ulah Jarot! Ia kencingi patung itu minggu lalu!” kata salah satu dari merekal.
Jarot yang mendengar kabar itu dari warung kopi cuma tertawa. Ia tahu, patung itu sebelumnya dilukisi cat merah oleh anak-anak yang ia ajari tentang eksperimen visual. Namun tak ada logika dalam histeria. Maka malam itu, digelarlah Sidang Kafir. Jarot Kucai dipanggil ke balai desa. Duduk di kursi tengah seperti terdakwa..
“Dengan ini, kami, warga Desa Simpang Air, menyatakan Jarot Kucai sebagai Kafir Resmi!” teriak kepala desa,.
Jarot berdiri, mengangkat tangan, dan tersenyum.
“Aku terima. Akhirnya aku dapat gelar. Kafir Honoris Causa. Terima kasih. Sekarang aku setara dengan tokoh-tokoh besar seperti Galileo.”
Setelah sidang kafir, Jarot tak lagi dipanggil dengan namanya. Ia disebut “Itu” oleh warga, atau Anak Setan jika sedang dalam mood kejam. Ia diasingkan ke ujung desa, ke sebuah gubuk reot dekat hutan karet yang katanya dihuni roh tentara Jepang. Tak ada yang mau berinteraksi dengannya, kecuali nyamuk, tikus, dan suara-suara dalam kepala yang makin keras tiap malam.
Ibunya meninggal seminggu kemudian. Bukan karena tua, bukan karena kutukan, tapi karena patah hati yang lama tertahan dan lambungnya yang tak kuat menerima kenyataan anaknya dijadikan musuh masyarakat. Tak ada yang datang melayat. Jarot sendiri yang menggali liang kubur di tanah keras, pakai cangkul tumpul dan tenaga yang makin menipis. Ia bicara pada mayat ibunya seperti sedang minta maaf karena dilahirkan. “Kau mati sebagai ibu kafir. Tapi jangan khawatir, dosamu hanya melahirkanku. Yang lebih berdosa adalah mereka, yang melahirkan kebodohan sebagai warisan,” katanya dengan roman kesedihan.
Malam itu, langit hujan. Bukan karena ritual. Bukan karena Dukun Tarman bersetubuh dengan pohon pisang seperti dulu. Tapi karena cuaca memang begitu. Namun bagi warga, ini adalah pertanda:
“Langit murka karena Jarot mengubur ibunya sendiri.”
Beberapa minggu kemudian, sekolah kecil di bawah pohon nangka dibakar. Tak ada yang mengaku, tapi bau bensin dan jejak kaki anak kepala dusun jadi saksi yang diam dan tidak bisa disuap. Pohon itu tak tumbang, tapi daunnya jadi hitam. Anak-anak yang biasa duduk di bawahnya mulai bicara lebih pelan, lebih takut. Satu di antaranya mulai bicara pada tembok karena katanya suara Jarot Kucai masih mengajarinya logika dari balik bayangan.
Jarot tak membalas. Ia lebih sibuk menggaruk-garuk luka di kakinya yang makin banyak digigit kutu. Ia lebih sering berbicara sendiri, atau pada kucing liar yang ia beri nama Logika.
“Logika, kau tahu? Mereka bilang aku gila. Tapi kalau kewarasan berarti mempercayai kertas mantra dan ayam keramat, mungkin gila itu satu-satunya bentuk sadar.”
Logika menjilat kakinya, lalu kencing di atas kardus.
Malam itu, gubuk tempat ia tinggal terbakar. Ia selamat, tapi seluruh catatan, buku, dan papan coretan ide-idenya jadi abu. Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Tapi ada tanda silang besar dengan darah ayam di depan pintunya, sebuah tanda resmi dari dewan dukun bahwa seseorang tak lagi dianggap manusia. Jarot Kucai tidak menangis. Ia cuma berdiri lama, menatap ke dalam api yang sudah padam, lalu bicara pada bayangan dirinya di dinding puing:
“Kau tahu, kadang aku berpikir mungkin mereka benar. Mungkin aku memang bukan bagian dari dunia ini.”
Bayangan itu tidak menjawab. Dan seperti semua legenda yang baik, Jarot menghilang. Beberapa bilang ia mati digigit ular, tapi tak ada mayat. Yang lain bersumpah melihatnya berjalan ke laut, telanjang, sambil tertawa seperti orang yang menemukan rahasia semesta dalam ompol sendiri. Ada pula yang yakin ia berubah jadi angin, karena setiap malam Jumat, pohon nangka itu kembali berbisik.
Desa Simpang Air tak berubah banyak. Dukun kembali punya banyak pasien. Anak-anak kembali takut pada Genderuwo. Tapi ada satu yang berbeda: Setiap kali hujan turun, orang-orang diam. Karena mereka tahu hujan tidak datang karena mantra. Tapi karena langit tak bisa lagi menahan air mata Jarot Kucai.
Lama setelahnya, cerita Jarot Kucai jadi semacam dongeng yang diceritakan setengah serius. Orang-orang menyebutnya Kafir Besar. Ada yang mulai bertanya-tanya, jika ia gila, kenapa mereka masih takut menyebut namanya saat malam?
Dan di satu sudut desa, seseorang pernah menulis di dinding dengan kapur putih:
“Kadang yang paling waras adalah mereka yang dituduh gila. Dan yang paling suci adalah mereka yang dikafirkan.”
Tulisan itu dihapus keesokan harinya. Tapi entah kenapa, setiap minggu, kalimat itu muncul kembali.