Bocah Sinting Yang Mengaku Tuhan

Di kota yang dibangun di atas dosa-dosa yang dirayakan seperti hari besar nasional—mabuk dianggap lebih suci ketimbang makan babi, dan pacaran dijadikan kurikulum wajib bagi anak SMP—tinggallah seorang bocah sinting yang menyebut dirinya Tuhan. Namanya Macan Gending. Tak ada yang tahu dari mana nama itu berasal. Ia tak punya akta lahir, hanya surat keterangan dukun beranak yang kini menjual susu formula kadaluarsa di pasar loak. Ibunya menghilang saat Macan Ganding belum bisa membedakan antara Tuhan dan kepala dusun. Ayahnya konon seniman wayang, namun lebih sering bercinta dengan topeng daripada perempuan. Macan Gending percaya dirinya adalah Tuhan. Tuhan, katanya, bukan pencipta, tapi pengganggu. Bukan pemurah, tapi pengocok dadu takdir. Dan Macan Gending, si Tuhan kecil itu, punya misi membongkar kepalsuan zaman ini, dengan tertawa dan mengejek, dan menelanjangi masyarakatnya sendiri.

“Kau tahu apa yang lebih haram dari makan babi, Karman?” tanya Macan Gending sambil menggantung rokok kretek dari bibir robeknya.

Karman, bocah SMA yang dua kali digerebek tidur dengan pacarnya mengangkat bahu. “Apa lagi sih, Can? Jangan bilang coli di masjid.”

Macan mendesah. “Yang lebih haram dari makan babi adalah saat ibumu menyuruhmu mengaji, tapi membiarkan pacarmu nginap di rumah asal tak hamil.”

“ Zaman sudah maju,” kata Karman lagi.

Macan meludahi tanah. “Kalau kemajuan artinya makin banyak anak muda menjilat bibir pacarnya tapi jijik lihat celeng, lebih baik kita bunuh diri massal dan hidup sebagai belatung di kuburan.”

Orang-orang kampung menganggap Macan Gending gila. Tidak gila yang perlu dibawa ke rumah sakit. Gila seperti badut di pemakaman, atau pengamen nyanyi sambil telanjang dada dan menyebut dirinya cucu Prabu Siliwangi. Macan Gending pernah mengutip ayat kitab sambil menempelkan stiker porno di buku tafsir, dan memaki kepala desa karena membangun taman selfie, tapi membiarkan warung remang-remang buka dua puluh empat jam.

“Di kampung ini, yang lebih dulu dibangun bukan akhlak, melainkan sinyal. Kau bisa cari kiblat pakai kompas digital, tapi tak tahu di mana arah malu,” katanya.

Orang-orang tertawa, entah karena lucu, atau takut disebut kafir oleh bocah sinting yang hafal ayat lebih banyak dari imam masjid tapi juga bisa menyebutkan enam belas posisi seks tanpa gugup.

Siang itu Macan Gending masuk ke kelas IPS 3. Ia memakai kutang perempuan yang ia curi dari jemuran rumah Pak Ustadz. Ia kemudian Berdiri di depan kelas, seperti pengkhotbah tanpa gereja.

“Anak-anak Tuhan, aku datang membawa kabar baik. Hari ini kita bahas kenapa pacaran lebih halal daripada masturbasi, padahal dua-duanya bikin tangan berkeringat dan hati gelisah.”

Semua tertawa. Termasuk Bu Lili, guru agama yang diam-diam sering bertukar pesan mesra dengan Pak Anton, penjaga perpustakaan.

“Lanjutkan, Macan. Aku ingin tahu sejauh mana otak bejatmu bisa membedah moral kami yang suci ini,” kata Bu Lili, setengah serius, setengah takut ketahuan dosanya.

“Suci? Kalau moral kita suci, kenapa anak SMP paham posisi seks tapi tak bisa baca Al-Fatihah? Kenapa anak SMA bisa hamil, tapi tak tahu hukum waris?”

Kala itu, satu sekolah berguncang. Macan jadi viral di Media Sosial sebab video orasinya disebar oleh murid kelas X yang biasanya sibuk bikin konten lipsync sambil nyusu di rokok elektrik rasa taro. Besoknya, kepala sekolah memanggilnya. Ditemani guru BK dan satu orang intel yang menyamar sebagai tukang teh botol.

“Macan, kau tahu kenapa dipanggil?”

“Karena Tuhan ingin membalas umat yang menyembah dosa dengan cara paling gila.”

Kepala sekolah mendengus. “Jangan main-main. Kau memalukan sekolah ini.”

“Sekolah ini sudah lama memalukan dirinya sendiri. Sejak guru-gurunya lebih sibuk menyensor rok murid perempuan daripada mengajarkan integritas. Sejak kepala sekolahnya lebih takut murid ngopi daripada melacur.”

Macan tidak dikeluarkan. Ia terlalu populer untuk disingkirkan. Ia jadi semacam ikon absurd: diundang sebagai pembicara OSIS, tapi dilarang menyebut kata kondom lebih dari tiga kali. Sementara itu, ia mulai membentuk semacam sekte aneh: sebuah geng kecil bernama Jamaah Dosa Tersesat. Anggotanya, Karman si Penidur, Reni si Pembaca Erotika, dan Gunawan si Pemeluk Tiang Listrik (sudah tiga kali kesetrum, tetap tidak tobat). Mereka punya aturan, setiap Jumat sore, mereka akan berkumpul dan mengakui dosa masing-masing, lalu menertawakannya seperti stand-up comedy.

“Kita ini bukan suci, bukan bejat. Kita ini korban zaman yang bingung. Satu-satunya cara selamat adalah menjadi gila,” kata Macan Gending.

Ia tak pernah sholat, tapi hafal bacaan-bacaannya dari awal sampai yang sering dilupakan. Ia tak pernah puasa, tapi pingsan setiap kali adzan maghrib sebab ia terlalu dalam membaca Kitab Orang-Orang Murtad yang ia tulis sendiri di buku tulis bergambar Hello Kitty. Ia menamai bab pertamanya, Masyarakat yang Mencintai Dosa Tapi Membenci Babi. Dan  ia menulis kalimat pembuka seperti fatwa dari neraka: “Ketika jari-jarimu lebih lihai mengetik ucapan ‘Barakallah’ daripada menepuk pundak tetanggamu yang lapar, maka agamamu sudah jadi kosmetik.”

Karman membacanya sambil tertawa hampir mati. “Gila, Can. Ini kalau ketahuan guru agama, kau bisa dikafirin,” katanya

Macan Gending mengangkat alis. “Dikafirin oleh orang yang lebih takut anaknya homo daripada korupsi? Aku malah akan bersujud syukur di kamar mayat.”

Reni, satu-satunya perempuan dalam Jamaah Dosa Tersesat, mulai jatuh cinta padanya. Tapi Macan Gending menolaknya dengan sepotong puisi yang ditulis di tisu bekas lap ingus:

“Aku tidak bisa mencintaimu, Reni. Karena cintaku sudah kugadaikan kepada umat yang beriman palsu. Aku ingin menikah dengan penderitaan dan menggauli kebodohan sampai hamil.”

Reni menangis dan juga orgasme secara spiritual.

Hari Jumat berikutnya, Jamaah Dosa Tersesat berkumpul di bekas gardu ronda yang dijadikan tempat rapat darurat dan tempat tidur gelandangan. Gunawan, si pemeluk tiang listrik, mengaku:

“Aku tadi siang coli tiga kali sambil dengerin adzan. Pertama di kamar mandi sekolah. Kedua di bawah pohon jambu. Ketiga di hatimu, Can.”

Macan mengangguk, “Kau adalah nabi zaman yang tak pernah lahir. Tapi aku bangga padamu. Karena kau jujur dalam dosa. Lebih jujur daripada pendeta yang menyentuh paha jemaat remaja sambil mengutip Yohanes pasal dua.”

Mereka saling bersulang dengan air kelapa. Sementara itu, masyarakat mulai gerah. Isu soal Macan Gending sampai ke telinga Kiai Subakir, pemilik Pondok Pesantren Nurul Hawa yang terkenal tegas dan sering menyuruh santrinya mengubur celana dalam pacar-pacar mereka sebagai bentuk tobat.

Kiai Subakir menyuruh salah satu santrinya, yang juga anak camat, untuk menyelidiki Macan Gending. Santri itu bernama Gusti Panjul bin Haji Murdani. Gusti Panjul datang ke Macan Gending, membawa segudang dalil dan dua potong ketakutan. Ia duduk di depan Macan Gending dengan wajah setengah.

“Saudaraku Macan Gending, aku datang membawa niat baik. Aku ingin menasihatimu,” katanya.

“Tak usah menasehati Tuhan, Gusti. Aku diciptakan untuk mengganggu sistem. Kalau kau menyuruhku tobat, sama saja menyuruh kerbau memakai jas.”

“Tapi kau sudah menista agama.”

“Agama mana? Agama yang diselipkan di siaran politik? Agama yang hanya muncul saat pilkada dan hilang saat tetangga mati kelaparan? Gusti, agamamu mungkin suci. Tapi masyarakatmu memakainya seperti celana dalam,” dan ia menambhkan: “Dipakai tapi tak pernah dicuci.”

Gusti Panjul pulang. Lapor pada Kiai Subakir bahwa Macan mustahil ditaklukkan dengan ayat. “Anak itu bukan manusia,” kata Kiai Subakir. “Ia adalah hujan yang jatuh ke kuburan lalu bangkit jadi bau bangkai.”

Tak butuh waktu lama, petisi muncul. Isinya menuntut agar Macan Gending dikeluarkan dari sekolah, diasingkan, dikafankan dalam nalar. Tapi kepala sekolah gamang. Sebab setelah Macan viral, sekolah mereka masuk televisi. Beberapa dosen dari universitas negeri bahkan mengirim email untuk mengundang Macan sebagai pembicara seminar bertema: Eksistensi Tuhan Dalam Tubuh Remaja Pemberontak.

Bu Lili, guru agama yang dulu tertawa, kini khawatir sebab ia pernah mimpi Macan Gending duduk di mimbar khutbah dan menyumpahi semua perempuan yang pakai kerudung tapi mengedit foto guna membesarkan payudara. Dalam mimpinya, Macan Gending berkata: 

“Aku adalah Tuhan yang muak. Tuhan yang ingin membakar ayat-ayat indah karena terlalu sering dipakai untuk menutupi bokong dosa.”

Sementara itu, Jamaah Dosa Tersesat bertambah anggotanya. Ada si Wulan, anak Rohis yang hobi minum arak oplosan sambil mengaji. Ada Dodik, mantan qori yang sekarang jadi soundman di studio dangdut. Macan membuat semacam ritual baru. Mereka menyebutnya, Tobat Dalam Bentuk Ketawa. Satu per satu berdiri dan mengaku dosa. Lalu semua tertawa. Malam itu, Macan Gending berdiri. Menatap mereka semua dengan mata yang tak berkedip. Lalu berkata pelan:

“Tuhan telah mati. Aku hanya mengisi lowongan kerja itu karena tak ada yang mau.”

Hari Minggu, Macan Gending mengadakan acara tabligh akbar di kuburan Cina. Ia berdiri di atas pusara dengan papan bertuliskan: Selamat datang di Maqbarah kita semua. Gratis kopi dan kutukan. 

Jamaahnya hadir, ada anak-anak punk bau balsem. Ibu-ibu pengajian yang penasaran. Para lelaki saleh yang diam-diam menyimpan kondom di dompet saku gamis mereka. Macan Gending tak pakai mikrofon, hanya sebatang tulang kering ayam goreng yang ia acungkan ke langit dan suara yang meledak seperti bom di dada orang-orang alim:

“Wahai umat, mari kita bersaksi bahwa dosa telah menjadi agama, dan agama hanya jadi alat tukar untuk tumpeng dan sumbangan.”

Seseorang bertanya dari kerumunan, “Apa kau Nabi?”

“Tidak. Aku hanya Tuhan yang tersesat, atau setidaknya pengingat bahwa neraka lebih jujur daripada janji pemilu.”

Di belakangnya, Wulan menyanyi lagu nasyid sambil menggoyang-goyangkan payudaranya yang sengaja tak dibungkus. Gunawan berdiri telanjang bulat dan melukis tubuhnya dengan kutipan ayat-ayat pendek. Karman menyalakan kembang api dari lubang pantatnya sambil berteriak, “Takbir!”

Semua orang bingung. Tapi tak satu pun pulang. Malamnya, satu kampung menggelar rapat darurat. Kepala dusun, Pak Wakijan, berteriak:

“Ia sudah kelewatan! Hari ini pemakaman, besok mungkin Masjid Agung jadi diskotik!”

Ustaz Qodri menyahut, “Ia tidak kafir. Ia hanya terlalu tahu.”

Kiai Subakir bangkit dari duduknya, matanya penuh darah, bibirnya komat-kamit membaca surah pendek seperti orang mengunyah kemenyan. “Macan Gending harus dihentikan. Jika perlu, kita kubur ia hidup-hidup. Biar ia benar-benar jadi Tuhan,” katanya.

Semua tepuk tangan. Semua tak sadar bahwa kalimat itu adalah nubuat.

Macan Gending malam itu tidur di bawah jembatan. Kepalanya bersandar pada karung plastik yang ia isi dengan lem fox dan kitab suci dari berbagai agama. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya disalib di halaman sekolah bukan dengan paku melainkan dengan spidol permanen dan komentar-komentar yang menyamakannya dengan dajjal. di sekelilingnya, anak-anak kecil meminum air wudhu dari botol vodka. sementara adzan dikumandangkan oleh boneka Doraemon yang kehilangan baterai. Ia terbangun dengan kencing membasahi celana. Ia tersenyum lalu mencatat mimpi itu dengan tulisan besar.  “Mungkin ini yang disebut wahyu.” katanya kepada dirinya sendiri.

Pagi harinya, sekolah mengadakan apel akbar bertema Menyelamatkan Moral Generasi. Macan diundang sebagai pembicara kehormatan sebab para guru ingin menyaksikannya gagal. Macan naik ke podium, pakaiannya compang-camping, di dada kirinya tertulis dengan spidol: Tuhan pakai sendal swallow. Ia mengangkat tangan dan berkata lirih tapi cukup keras untuk menusuk seluruh nalar:

“Hari ini aku ingin berbicara tentang kematian. Bukan kematian tubuh, tapi kematian rasa malu. Karena di negeri ini, malu hanya muncul saat kau ketahuan, bukan saat kau berbuat.”

Seseorang melemparkan batu. Macan Gending tersenyum. Batu itu mengenai dahi dan darah menetes seperti air zamzam palsu dan ia menjilatnya lalu berkata, “Darah ini lebih jujur dari khutbah Jumat di televisi.” 

Hari itu Langit meneteskan air mata yang baunya seperti solar dan keringat politikus. Di tengah lapangan bola yang sudah lama tak dipakai—kecuali untuk tawuran dan lomba makan kerupuk saat 17 Agustus—Macan Gending berdiri telanjang dada. Di tubuhnya tertulis aku sudah menyerah, tapi kalian masih percaya surga. Di sekelilingnya, anak-anak Rohis membakar buku buku filsafat dan sastr dan tafsir yang terlalu jujur. Bu Lili berdiri dengan wajah pucat berpegangan pada rosario milik ibunya yang Katolik tapi pura-pura Islam demi dapat bantuan sembako dari ormas.

Macan Gending mengangkat tangan seperti pemimpin upacara, seperti imam sesat, seperti anak kecil yang ingin memukul Tuhan.

“Hari ini aku bersyahadat atas nama absurditas. Aku mengakui bahwa tiada Tuhan selain kepalsuan dan kemunafikan adalah nabi-Nya,” katanya lantang. Lalu ia duduk bersila, meminta sebatang rokok dan menyalakannya dengan api dari sisa lilin ulang tahun kepala desa. Tak lama kemudian mobil patroli datang, orang-orang berdasi dan berpeci turun seperti malaikat birokrasi. mereka membawa surat penahanan dengan tuduhan penghinaan terhadap norma sosial dan agama, dan sponsor sekolah. Macan Gending hanya tersenyum dan berkata:

“Kalian menang sekaligus kalah. Karena aku bisa tidur bersama dosa-dosaku, sementara kalian harus tidur dengan topeng yang semakin basah oleh air liur kebohongan.”

Ia digiring seperti domba kurban namun langkahnya lebih ringan daripada ustadz yang baru naik mobil dinas. Di kantor polisi Macan Gending diminta mengaku bahwa ia gila. Ia menolak. ia malah menggambar siluet Si Gondrong di dinding sel.

“Jika kau menganggapku gila karena berkata jujur, maka berarti akal sehat kalian telah dimakamkan dan aku cuma penggali lubangnya,” katanya.

Petugas polisi diam. salah satu dari mereka menangis diam-diam sebab ia pernah menyentuh paha anak tetangganya tapi selalu menutupinya dengan dzikir keras saat adzan maghrib

Hari keempat Macan Gending disidang di aula sekolah,  dihadiri seluruh warga dengan wajah-wajah kelaparan yang disamarkan bedak dan lipstik, dan kopi sachet. Ketua komite sekolah membuka sidang dengan bacaan basmalah dan senyum palsu. di sampingnya duduk Kiai Subakir dan guru-guru, dan sponsor dari brand air mineral yang logonya nyempil di spanduk. Macan berdiri dan tak bicara apa-apa, ia hanya melempar kondom ke arah mikrofon dan duduk kembali. Tiba-tiba Reni masuk ke aula hanya memakai pakaian dalam saja, di tubuhnya tertulis: Aku telah menyusui kebencian dan kini aku melahirkan kebenaran.

Orang-orang histeris. Bu RT pingsan. Pak RW ereksi. Macan berdiri lagi dan mengangkat tangan seperti hendak berdoa tapi malah meludah ke langit-langit aula.

“Jika kalian ingin aku mati, kubur aku dengan kitab suci dan bakar aku dengan lembaran moralitas dan jangan menangis karena setiap air mata kalian hanyalah air wudhu yang tak pernah menyentuh hati,” katanya. Lalu ia membuka celananya dan berdiri di sana.

 Telanjang.

 Seperti bayi

Seperti Adam.

Seperti kebenaran. 

Malam itu Macan dibawa ke lapangan dan diperintahkan berlutut. Gusti Panjul, santri yang kini jadi tangan kanan Kiai Subakir, membawa cangkul lalu menggali lubang selebar tubuh. Macan Gending masuk ke dalam lubang dengan tenang seperti mayat yang tahu bahwa dunia sudah tak pantas dihuni oleh hidup.

“Kuburlah aku. Tapi ingat satu hal, jika kelak dunia ini meledak, maka lubang ini yang akan jadi pusatnya,” katanya.

Gusti Panjul menutup lubang itu dengan tangan gemetar.  Keesokan harinya orang-orang bangun dan mendapati langit menjadi gelap. Matahari seakan malu untuk bersinar dan di setiap Jumat namanya disebut dengan bisik-bisik:

“Macan Gending yang mati telanjang, tapi hidup dalam mimpi anak-anak kita.”

Dan setiap anak muda yang mulai bosan dengan ceramah dan slogan, dan pacaran halal mulai berdoa diam-diam:

“Wahai Tuhan yang dikubur hidup-hidup, datanglah kembali dalam bentuk kekacauan. Karena kami bosan pada ketenangan yang hanya milik orang munafik.”

Setelah itu, Jamaah Dosa Tersesat menghilang. tak ada yang tahu ke mana mereka pergi tapi kabar beredar: Gunawan membakar masjid lalu mengubur dirinya di halaman SD. Wulan menikah dengan pohon beringin dan melahirkan ulat bulu. Karman dibawa ke rumah sakit jiwa tapi malah mendirikan mushola di kamar 309.

Sementara itu, dunia terus berjalan seperti kereta jenazah yang tak pernah berhenti dan nama Macan Gending mulai bergema, bukan dari mulut tokoh agama, tapi dari grafiti di tembok WC umum, dari tulisan tangan anak SMA yang menolak ikut doa bersama sebelum upacara, dan dari sajak-sajak sunyi di grup WhatsApp mantan aktivis yang kini jadi pemungut suara partai. Di salah satu debat calon presiden, seorang kandidat tiba-tiba membaca kutipan: “Negeri ini tak butuh pemimpin. Negeri ini butuh air mata.” Lalu ia tersenyum simpul seolah tak tahu itu adalah kata-kata dari bocah yang dikubur hidup-hidup karena terlalu jujur dan terlalu telanjang saat mengucapkannya

Di suatu desa yang tak masuk peta, anak-anak mulai menggambar simbol aneh di buku pelajaran agama. Bukan bintang lima sudut, bukan salib, bukan bulan sabit, melainkan wajah setengah tertawa dan setengah muntah dan mereka menyebutnya Wajah Macan Gending. Di kota besar, seorang remaja perempuan menolak menikah muda dan meludahi kitab pemberian ibunya, sebab bukan ia membenci firman melaikan karena ayat itu dipakai ayahnya untuk membenarkan pelecehan malam-malam di antara zikir dan surah pendek. 

Di sekolah, guru-guru mulai takut bicara soal moral sebab setiap kali mereka sebut kata “akhlak”, selalu ada satu anak di pojok kelas tertawa pelan dan menggambar nisan bertuliskan:  AHLAK: LAHIR 2003, MATI 2024, DIKUBUR BERSAMA MACAN GENDING.”

Namun ada desas-desus di kalangan gelandangan bahwa Macan Gending belum mati. ia hanya tidur di dalam perut bumi sambil mengulum sabda yang terlalu berat untuk diucapkan dan akan bangkit bila masyarakat kembali menyebut dosa dengan senyum

Suatu malam, seorang ibu tua melihat anaknya mengobrol sendiri di dapur.  ia tanya, “Kau bicara dengan siapa?”

Anaknya menjawab pelan, “Tuhan.”

“Seperti apa wajah-Nya?”

Anak itu tersenyum, menunjuk coretan di dinding yang memperlihatkan sebuah gambar bocah dengan mata merah dan rokok kretek terselip di bibir sobeknya. 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top