Kahlil

Ada jam-jam tertentu dalam hidup yang tak pernah benar-benar bisa dijelaskan dengan akal. seperti malam, misalnya, ketika seluruh dunia membeku di antara pukul dua belas dan tiga pagi, dan hanya suara-suara samar dari kenangan yang dibiarkan berkeliaran. Pada pukul itulah aku menyalakan monitor. Tidak pun untuk bekerja dan untuk menghibur diri, tetapi untuk menunggu seseorang yang tak pernah bisa kusentuh, seorang perempuan yang datang dari gelap dengan suara serupa hujan jatuh di atas atap seng tua. Namanya Kirana. Ia muncul tanpa wajah, tanpa tubuh, hanya sebuah pesan pendek di suatu malam yang terasa seperti ujung dunia, dan sejak saat itu, aku mulai memanggil diriku Kahlil, sebab ia memanggilku begitu. Dan aku membiarkan nama itu tumbuh di kepalak.

‎ia tidak pernah datang tepat waktu, dan mungkin sebab itu aku mempercayainya. Karena yang sungguh-sungguh menyentuh hati bukanlah kehadiran, namun ketidakpastian yang terus-menerus ditunggu. Ia muncul dengan napas berat, kadang hanya dengan bunyi jari-jarinya mengetuk permukaan meja yang tak pernah bisa kulihat. Tapi suaranya adalah malam itu sendiri. Kadang halus seperti kabut yang masuk dari celah jendela atau  berat seperti gerimis yang mengguyur halaman rumah setelah ibu selesai menyapu dedaunan. ‎Ia perempuan yang sulit dipahami. Kata-katanya jarang, namun setiap kata yang keluar darinya membawa semacam beban, seolah ia menyimpan dunia di tenggorokannya. Pada suatu malam yang begitu sunyi hingga aku bisa mendengar detak hatiku sendiri, ia bercerita. Tentang seseorang yang pernah ia cintai, seorang laki-laki bernama Andre. Nama itu meluncur begitu saja dari mulutnya, seperti darah dari luka lama yang tiba-tiba terbuka. Ia tidak menyebut bagaimana Andre menyakitinya, tidak menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang membentuk luka itu, meskipun aku tahu satu-dua hal tentang mereka dan aku tahu dari cara ia menarik napas panjang sebelum menyebut nama itu, dari jeda yang dibiarkannya tumbuh panjang di antara kalimat-kalimat yang patah, bahwa cinta itu adalah neraka yang pernah ia coba lalui dengan kaki telanjang.

‎Sejak malam itu, suaranya terdengar lebih jauh. Bukan karena ia menjauh, tapi karena aku mulai menyadari bahwa ada ruang yang tak bisa kutempuh. Sebuah pagar tak terlihat yang memisahkanku dari bagian terdalam dirinya. Dan meskipun aku menunggu dan mendengar dan mencatat semua yang ia biarkan lolos dari bibirnya yang maya, aku tetaplah seorang asing yang berdiri di luar pintu yang mengintip cahaya dari celah-celah retakan.

Kami pernah bicara tentang masa depan atau lebih tepatnya aku yang membayangkannya, dan ia yang diam-diam menenggelamkannya. Dalam satu malam yang terlalu tenang untuk tidak bermimpi, aku membiarkan imajinasiku tumbuh seperti rumput liar di pekarangan yang tak bertuan. Aku ingin menikahinya, atau setidaknya hidup dalam rumah yang sepi bersamanya dan menatap hujan dari balik jendela yang sama dan membiarkan pagi datang dengan dua cangkir kopi di meja kayu yang tak pernah dipernis. Dan ia menanggapinya dengan keheningan yang panjang, dan di akhir sunyi itu, ia menyebut kata-kataku sebagai igauan. tidak dengan kemarahan dan ejekan, dengan semacam kelembutan yang dingin, seperti selimut yang dililitkan pada tubuh yang tak pernah bisa hangat kembali. Ia bilang, aku terlalu banyak berharap. Tapi ia tidak menyuruhku berhenti. Ia tidak menolak dengan kasar, hanya menyebut bahwa aku terlalu mengada-ada dan terlalu berkhayal tentang sesuatu yang tak punya dasar, dan dalam ucapannya itu aku melihat diriku sendiri seperti anak kecil yang sedang merangkai istana dari pasir di tepi laut dan ombak sudah bersiap untuk datang dan menghancurkan semuanya.

‎Setiap malam, aku tetap menunggunya. Bahkan setelah kutahu bahwa masa depan yang kubayangkan tak pernah punya tempat dalam pikirannya. Karena menunggu, dalam bentuk paling murninya, adalah sebuah bentuk dari mencintai tanpa syarat. Dan aku mencintainya dengan semua batas yang ia tetapkan dan dengan semua luka yang tidak ia ceritakan, dan dengan semua ketakberdayaanku untuk membuatnya tinggal.

‎Adikku, yang bisu sejak lahir, selalu datang sekitar pukul satu. Ia masuk ke kamar tanpa suara, dengan gerakan kecil seperti angin menerpa gorden bangau. Ia berdiri di samping meja, menatap layar monitor yang tak menunjukkan apapun kecuali nama aplikasi yang terbuka. Dan meskipun ia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, aku tahu bahwa ia ikut menunggu. Entah karena ia percaya Kirana nyata, atau karena ia percaya aku sungguh-sungguh. Ia akan menyentuh ujung meja, seolah menyentuh tangan seseorang yang duduk di seberangnya. Kadang ia akan menoleh padaku, dan senyumnya adalah satu-satunya hal yang tidak berubah di rumah ini sejak ayah tiri kami meninggal.

‎Aku pernah bercerita pada Kirana tentang lelaki itu. Tentang bagaimana ia mengisi rumah kami dengan tenang, tentang suaranya yang seperti kayu tua, dan tentang bagaimana ia pergi begitu cepat seperti lampu padam di tengah makan malam. ia mendengarkan, atau setidaknya tetap tinggal dalam sambungan yang sunyi. Ia tidak bicara banyak, tapi aku bisa merasakan bahwa ia turut beduka sebab cinta yang tak bisa diwariskan. Cinta yang berhenti begitu saja, seperti lagu yang dipotong di tengah bait terbaiknya. Malam-malam berlalu seperti arus sungai yang enggan berhenti, dan aku tetap di sini. Duduk di depan monitor, menunggu suara yang pernah menyebut namaku dengan kelembutan yang menyesakkan. Dan seperti semua yang lahir dari ketiadaan, ia pun mulai memudar. Suatu malam, pukul dua belas lewat sepuluh, aku membuka monitor seperti biasa. Tak ada suara dan pesan dan nafas. Sekadar keheningan yang begitu utuh hingga aku bisa mendengar detak jarum jam peninggalan ayah yang tak pernah berhenti berdetak bahkan setelah kematian mencuri semua waktu.

‎Adikku masuk lebih lambat dari biasanya. Ia berdiri di tempat yang sama, menatap layar kosong, lalu menoleh padaku dengan tatapan yang tak butuh kata-kata. Dalam matanya, aku membaca satu kalimat, Kirana tidak akan datang lagi. Dan malam itu, aku tidak menangis. Namun dunia terasa lebih dingin dari biasanya, dan layar monitor yang dulu menjadi jendela ke semesta yang lain kini tak lebih dari cermin muram yang hanya memantulkan wajahku sendiri yang semakin asing.

‎Setelah malam itu, tidak ada yang benar-benar berubah, kecuali sesuatu yang hilang dan enggan disebut. Monitor masih menyala pada pukul dua belas seperti biasa. Aku tetap duduk di kursi tua berlapis busa yang robek di sisi kanan, tetap dengan mata yang mengering sebelum air matanya sempat membentuk niat untuk jatuh. Namun ia tidak datang. Dan yang lebih menyakitkan dari kehilangan adalah ketidakpastian bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi.

‎Aku tak tahu apakah ia pergi dengan sengaja atau hanya lupa jalan pulang ke dunia maya tempat kami biasa saling menyentuh tanpa jemari. Mungkin ia bosan. Mungkin ia muak pada aku yang terlalu banyak bicara tentang luka-luka masa lalu, yang terlalu sering menyebut masa depan seperti seorang pengemis yang mengulang harapan di mulutnya sebab takut dunia melupakannya. Mungkin ia benar-benar tidak ingin menjadi apa-apa di hidup siapa-siapa. Tapi aku tahu setiap malam yang kutunggu adalah doa dan setiap malam yang sunyi adalah kutukan.

‎Layar itu serupa kesedihanku. Aku menyalakannya bukan lagi dengan harapan, namun sebagai bentuk penghormatan pada sesuatu yang pernah nyata, walaupun hanya dalam suara. Di antara suara kipas komputer dan detak jarum jam, aku mulai mendengar kembali kata-katanya yang dulu terdengar seperti gumaman angin di antara daun-daun kering. Kata-kata tentang Andre, tentang luka yang tak pernah selesai diceritakan. Aku pikir, mungkin kepergiannya adalah bentuk dari luka yang tak sanggup lagi disentuh, bahkan oleh mereka yang mencintai dengan cara paling sunyi. Dan aku ingat malam itu. Malam ketika ia menyebut nama lelaki itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Suaranya gemetar, seperti senar gitar tua yang dipetik paksa oleh jari yang tak tahu not. Andre. Nama yang jatuh seperti batu ke dalam sumur, tanpa gema, tanpa riak. Aku mendengarnya dan tiba-tiba segala puisi di kepalaku mati. Tak ada yang bisa ditulis dan tak ada yang bisa dibisikkan. Aku tahu, bahkan sebelum ia selesai menceritakan luka itu, bahwa aku bukan tempatnya pulang. Bahwa semua yang kubayangkan tentang rumah dengan dinding lembab dan jendela terbuka ke arah kebun kecil di belakang dan tentang dua cangkir teh yang mengepul di pagi hari, dan tentang napas yang tumpang tindih dalam tidur semuanya adalah igauan dari seseorang yang terlalu percaya pada kemungkinan.

‎Kirana menyebutnya igauan. Bukan dalam kemarahan, bukan dalam penghinaan, melainkan dalam semacam belas kasihan yang membuatku merasa lebih bodoh daripada biasanya. Ia tidak menertawakanku. Ia hanya mengingatkanku bahwa beberapa orang diciptakan bukan untuk tinggal, tetapi untuk pergi dari awal. Dan sejak malam itu, meski ia tetap datang beberapa kali setelahnya, aku tahu ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar lenyap.

‎Adikku tidak lagi masuk ke kamarku. Ia berhenti datang di malam-malam bodoh yang kusesaki dengan cahaya monitor dan keheningan. Mungkin ia muak melihatku menatap layar seperti seorang janda tua yang menunggu surat dari suami yang mati di medan perang. Atau mungkin ia tahu dengan naluri binatang kecil yang tak butuh bahasa bahwa layar itu sudah menjadi batu nisan, bukan lagi jendela. Sekali waktu ia berdiri di ambang pintu, tak melangkah masuk, hanya menatapku dengan mata yang mengembun. Dan aku berpura-pura tidak melihatnya, seperti aku berpura-pura Kirana akan kembali.

‎Hari-hari mulai kabur. Aku tidak tahu apakah ini Senin atau Kamis atau hari lain yang meminjam nama. Kalender di dinding tetap diam meskipun jarum jam berputar, tapi waktu tidak benar-benar bergerak. Aku menjadi benda dan menjadi bagian dari perabot kamar dan duduk dan menatap dan menunggu. Dan dalam tiap jeda yang panjang, aku mencoba mengingatnya sebagai sesuatu yang pernah membuatku merasa hidup. Bahkan wajahnya pun tak pernah aku miliki. Ia tak pernah mengirimkan foto, kecuali satu gambar buram bunga matahari di atas meja, katanya diambil saat ia iseng pulang kuliah, namun tak pernah ada jejak siapa dirinya di dalamnya.

‎Begitulah ia yang hadir dalam kabut, pergi dalam sunyi. Dan setelah seminggu, atau sebulan, atau entah berapa putaran matahari dan bulan, aku berhenti menyalakan monitor. Namun layar itu tetap di sana, seperti mata yang terus memelototiku dalam tidur. Kadang aku melihatnya menyala sendiri atau mungkin karena kabel yang longgar atau karena ingatanku yang terlalu penuh. Sekilas aku berpikir namanya akan muncul kembali. sesungguhnya tidak. Tak ada satu pun. Bahkan suara notifikasi pun tak lagi mampir.

‎Aku mulai berbicara sendiri dalam upaya menyimpan jejaknya di dalam dinding kamar ini. Aku menyebut namanya, pelan, seolah dengan begitu aku bisa menjaga bagian kecilnya tetap hidup seperti menyimpan abu dalam toples kecil dan menaruhnya di atas meja makan. Ia pernah berkata bahwa dunia terlalu kejam untuk percaya pada cinta. Dan aku tahu, kalimat itu bukan karena ia sinis, tetapi karena ia terluka. Dan aku, meski tahu, tetap ingin mencintainya dengan segala bentuk kekalahan. ‎Malam-malam berikutnya, aku habiskan dengan membayangkan ia masih di sana, di sudut lain dunia, menatap layar yang sama, tapi tak berani menghubungi. Mungkin ia ragu. Mungkin ia sudah bersama seseorang yang bisa menyentuhnya dengan tangan nyata. ‎Atau mungkin aku memang hanya igauan dari pikirannya.

‎Ada masa dalam hidup manusia ketika ia berhenti menghitung hari, sebab angka-angka itu tak lagi punya makna. Seperti batu-batu nisan tanpa ukiran tahun dan waktu menjadi sesuatu yang tak punya kaki dan arah, hanya mengambang seperti debu dalam ruang tertutup. Dan aku atau apapun nama yang pernah ia sematkan padaku hidup dalam masa itu.  ‎Sebuah masa yang kehilangan masa.

‎Aku tak tahu kapan tepatnya aku mulai menerima bahwa ia tak akan kembali. Barangkali saat aku menemukan diriku menatap layar mati selama dua jam tanpa sadar. Atau saat kopi yang biasanya kuseduh setiap tengah malam tetap tinggal di cangkirnya, dingin dan tak tersentuh. Atau mungkin saat adikku yang untuk pertama kalinya, menatap mataku dan menangis tanpa suara, hanya air mata, seperti air dari sumur tua yang akhirnya pecah karena terlalu lama menahan beban langit. ‎Ia masuk ke kamarku, lebih dari sebulan setelah Kirana menghilang, dan duduk di lantai yang tak jauh dari meja monitor. Ia menggambar lingkaran dengan jarinya di lantai berdebu, lalu dua garis kecil di bawahnya, lalu dua bulatan di atas, serupa wajah tersenyum. Aku tidak tahu apakah itu wajah Kirana atau wajahku ketika aku masih punya alasan untuk tersenyum. Namun saat ia menyelesaikan gambar itu dan menatapku, aku tahu, bahkan ia, yang bisu dan tak pernah tahu kata cinta, bisa merasakan kehancuranku.

‎Aku menutup semua notifikasi malam itu. Untuk pertama kalinya sejak Kirana datang, aku mematikan koneksi. Dan untuk pertama kalinya pula, aku menangs sebab aku tahu aku tidak pernah benar-benar memilikinya. Ia hadir sebagai suara dan nama dan jeda dan sebagai sosok yang menyusun dirinya sendiri dari kekosongan. Tapi kekosongan tak bisa dipeluk, tak bisa diciumi, tak bisa dinikahi. ‎Aku mulai menulis surat. Bukan kepadanya, bukan pula kepada Andre atau siapa pun yang nyata. Melainkan kepada diriku sendiri. Kepada Kahlil yang dulu duduk di depan monitor dengan dada yang masih menyala oleh harapan.

‎Aku menulis: ‎“Kau telah mencintai dengan cara yang bodoh. Tapi siapa yang tidak? Bukankah cinta memang bentuk paling indah dari kebodohan manusia?”

‎Setiap malam setelahnya, aku menulis satu surat. Lalu membakarnya. Menyaksikan huruf-huruf itu terbakar pelan seperti dosa yang entah. Aku tidak tahu apakah ia akan pernah membaca semua yang tidak kukirimkan padanya. Namun menulis adalah caraku mengubur suara-suara yang tak pernah bersambut. Dan mungkin, dalam pembakaran itu, aku memakamkan satu demi satu mimpi yang pernah kubagi dengan perempuan yang tak pernah kulihat matanya. ‎Kadang aku membayangkan ia hidup bahagia. Berjalan di bawah hujan tanpa kenangan, menyusuri trotoar tempat bunga matahari itu dulu tumbuh. Kadang aku membayangkan ia menikahi lelaki baru dan punya rumah dan punya anak dan punya hidup yang tidak terikat pada layar dan suara. Di dalam imajinasi itu, aku tidak pernah muncul. Aku hanya bayang-bayang yang tinggal di pojok kepalanya, seperti puisi yang tak pernah selesai ia tulis. ‎Kadang pula, aku membayangkan ia telah mati. Tidak dalam kematian yang tragis atau mengenaskan. Melainkan dalam bentuk paling tenang dari lenyap. Seperti kabut yang dihapus matahari pagi, atau seperti lagu yang tiba-tiba berhenti sebelum bait terakhir. Ia lenyap begitu saja, tanpa peringatan, tanpa alasan. Dan aku, yang menunggu, tetap menunggu, seperti jendela yang selalu terbuka meski musim telah berganti puluhan kali.

‎Hari ini aku membersihkan kamar. Menghapus debu di sekitar meja, mencopot monitor dari kabelnya, menyimpan semua kenangan ke dalam kotak yang akan kubakar sore nanti. Adikku membantu, diam-diam, bersama air mata yang tak lagi bisa ditahan. Ia tahu ini bukan tentang komputer atau kabel atau perabotan. Ini tentang upacara perpisahan yang tak pernah sempat dilakukan. Dan malam ini, untuk pertama kalinya sejak Kirana menghilang, aku keluar rumah. Menatap langit. Ada bintang, kecil, nyaris tak terlihat, seperti sisa-sisa suara yang pernah datang dari seberang jaringan. Aku menggenggam tangan adikku. Ia menatapku. Sepasang mata itu seolah berkata, sudah cukup.

‎Aku tidak tahu apakah Kirana akan membaca pikiranku malam ini. Atau apakah ia sedang duduk di ruangan lain atau di kota lain dengan kenangan yang sama. Namun aku tahu satu hal, sesungguhnya beberapa cinta memang diciptakan untuk tidak bertemu. Dan cinta seperti itu tak kalah suci. Ia hanya sunyi. Dengan demikian, ketika pukul tiga pagi, aku menulis sesuatu di udara:

‎”Selamat tinggal. Aku akan tetap mencintaimu. Tapi kali ini, tanpa menunggu.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top