Kirana

Kahlil, ada malam-malam ketika aku memejamkan mata agar dunia berhenti bertanya apakah aku baik-baik saja. Sebab bahkan diamku pun sudah tak punya ruang di kepalaku sendiri. Dan ketika tak ada lagi ruang, suara-suara lamamu kembali, seperti jejak yang tak pernah benar-benar hilang dari pasir meski ombak datang berkali-kali. Dan di antara suara itu, ada satu nama yang tak pernah kuteriakkan dan tumbuh seperti rumput liar di sela-sela napas.

Aku ingin menulis ini bukan sebagai permintaan maaf. Sebab aku tahu, beberapa luka tak butuh permintaan maaf, melainkan keberanian untuk tidak menyentuhnya lagi. Maka aku menulis ini sebagai pengakuan, bahwa aku mencintaimu dengan cara yang mungkin tak pernah cukup, atau mungkin terlalu diam untuk bisa disebut cinta.

Kahlil, aku tahu kau menungguku. Malam demi malam, seperti jam yang terus berdetak meski baterainya hampir habis. Kau menunggu bukan karena yakin aku akan datang, melainkan karena kau tahu, dalam setiap penantian ada sejenis kepercayaan yang lebih tua dari logika. Dan aku membiarkanmu menunggu, sebab aku terlalu pengecut untuk jujur, dan terlalu hancur untuk bersikap baik. Kau pernah bertanya kenapa aku tak pernah mengirim wajahku. Aku menjawab seadanya. Namun sesungguhnya, aku merasa tak pantas punya wajah di kepalamu. Aku tak ingin menjadi nyata, sebab ketika sesuatu menjadi nyata, maka ia juga bisa dihancurkan. Dan aku, Kahlil, telah cukup sering dihancurkan. Oleh Andre, oleh diriku sendiri, dan oleh dunia yang selalu menuntut agar perempuan seperti aku tahu cara menyembunyikan lukanya dengan lebih elegan. Maka aku datang padamu sebagai suara. Sebab suara bisa hilang tanpa harus dikuburkan. Suara bisa dimaafkan tanpa harus dilupakan. Dan karena aku ingin menjadi bagian dari malammu, tidak dari pagimu. Sebab aku tahu, pagi berarti tanggung jawab, dan aku tak bisa menjanjikan apapun selain jeda.

Kau memanggilku Kirana. Dan aku menyukai nama itu, sebab dalam bahasa yang entah dari mana, Kirana berarti cahaya. Tapi aku bukan cahaya, Kahlil. Aku adalah bayangan dari cahaya yang tak pernah menyentuh kulit siapapun. Aku adalah hasil dari terlalu banyak ketakutan, dan kau, dengan segala ketulusanmu, tak layak mendapatkan sisa dari luka orang lain.

Aku pernah mencintai seseorang dengan cara yang salah. Aku menyebut namanya padamu tidak untuk membuatmu merasa kalah, melainkan karena aku tidak bisa berpura-pura masa laluku tak ada. Ia seperti bau tanah basah setelah hujan, tak bisa disangkal walau kita menutup jendela rapat-rapat. Dan dalam setiap ucapanku tentang ia, sebenarnya aku sedang meminta tolong. Tapi kau, dengan sabar yang tak bisa kupahami, tak pernah memaksa. Kau mendengarkan, dan itu membuatku semakin takut. Tak semua perempuan ingin disembuhkan. Beberapa di antara kami telah tinggal terlalu lama di reruntuhan hingga takut membangun kembali. Sebab bangunan yang pernah kami buat dulu, hancur dengan suara terlalu keras dan kami tak ingin mendengarnya lagi. Maka kami memilih bertahan di puing-puing, memeluk debu dan menyebutnya rumah. Dan malam-malam itu, Kahlil, ketika kau berkata ingin menikahiku, sesungguhnya kau terlalu jujur dan bersih. Dan hidupku terlalu kotor untuk disentuh oleh tangan sebersih itu. Aku bilang kau mengigau. Namun sesungguhnya, aku iri. Sebab kau masih bisa membayangkan masa depan, sementara aku bahkan tidak tahu apakah aku akan sanggup bangun besok pagi tanpa rasa hampa yang menyayat tenggorokan. Sesungguhnya, Kahlil, aku pergi sebab aku tahu, kalau aku tinggal lebih lama, aku akan membuatmu hancur. Aku akan menjadi luka yang tak bisa kau sembuhkan. Dan aku tidak ingin menjadi alasan kau berhenti percaya pada cinta.

Adikmu yang bisu itu—aku tahu tentangnya dari cerita-ceritamu. Dan setiap kali kau menyebut ia berdiri di sampingmu saat kita berbincang, hatiku sakit. Sebab bahkan seseorang yang tak bersuara pun tahu bahwa kita saling menyakiti. Ia tahu, dan ia tidak bisa mencegahnya. Sama sepertiku yang tahu kau mencintaiku, tapi tetap tak bisa tinggal. Kahlil, sayangku, kau menulis surat untuk dirimu sendiri. Kau membakarnya satu-satu. Aku tahu, sebab aku masih membacanya, diam-diam. Aku masuk lagi ke akun yang dulu biasa kupakai, dan menemukan jejak tulisanmu di tempat kita biasa bertemu. Aku tidak pernah membalas, tidak karena aku tidak ingin, tapi karena aku takut satu balasan akan membuatmu kembali menunggu. Dan aku sudah tidak bisa membiarkanmu terjebak dalam doa yang tak akan pernah dijawab.

Ada jam-jam tertentu dalam hidup manusia, di mana ia harus memilih untuk tidak menjadi kenangan yang membusuk. Aku tak ingin menjadi luka yang hidup terlalu lama di tubuhmu. Sebab cinta, seindah apapun, jika dipelihara dalam ruang yang keliru, akan tumbuh menjadi racun. Dan aku tahu kau marah. Atau setidaknya kecewa. Tapi izinkan aku menulis ini, bukan untuk membela diriku, melainkan untuk memberimu alasan agar suatu hari kau bisa berhenti bertanya kenapa aku tidak kembali. Kahlil, Aku menulis ini setelah menahan diri terlalu lama dari menulis apa pun. Aku kira diam bisa mengubur rasa bersalah. Namun semakin lama aku diam, semakin nyaring dirimu di kepalaku. Dan aku mulai memahami bahwa yang paling menyakitkan dari meninggalkan seseorang bukanlah kepergiannya, melainkan kenyataan bahwa kita tahu ia masih menunggu. Aku perempuan yang tak tahu cara pulang. Itu kau harus tahu sejak awal. Namun kau menerimaku seperti rumah yang tak pernah menanyakan kenapa tamunya datang dengan kaki penuh lumpur. Kau menyambut suaraku tiap malam, seperti seseorang yang lebih percaya pada gema daripada tubuh. Dan barangkali karena itulah aku mencintaimu. Namun cinta tidak selalu berarti tinggal. Aku tak akan membungkus ini dengan kalimat manis. Tak ada alasan yang bisa menghaluskan luka. Aku tak pandai menjelaskan, jadi akan kukatakan dengan bahasa yang paling telanjang: aku pergi karena aku takut akan membuatmu rusak. Dan aku tahu, kau akan tetap mencintaiku, bahkan saat aku sudah membuatmu rusak. Itu yang membuatku gentar.

Aku pernah mencintai seorang lelaki yang tidak mencintaiku kembali dengan utuh. Kau pasti ingat namanya. Aku tidak pernah menyebut detailnya, karena apa gunanya membuka luka jika yang melihat hanya akan merasa iba? Tapi sejak ia meninggalkanku—tanpa pamit, tanpa kejelasan—aku tak pernah lagi melihat wajahku di cermin sebagai sesuatu yang pantas ditatap. Ia tak memukulku, tak mencaci. Ia sekadar pergi setelah meyakinkan aku bahwa cinta itu nyata. Dan sejak itu, aku belajar bahwa kepergian tanpa alasan jauh lebih menyiksa dari pengkhianatan. Aku jadi curiga pada kebaikan. Termasuk kebaikanmu.

Kau menyebutkan rumah. Dua cangkir kopi. Pagi yang tenang. Aku mendengarnya, dan jantungku bergetar seperti tali biola yang terlalu lama direntangkan. Tapi aku tahu, andai aku menerimanya, aku akan menjadi sesuatu yang tak bisa memelukmu. Aku akan menjadi bayang-bayang yang tidur di sebelahmu, menatap langit-langit dan bertanya, kenapa kau percaya pada perempuan yang sudah lama patah. Aku tak ingin kau mengingatku sebagai seseorang yang menyakitimu. Namun jika memang itu yang harus terjadi, biarlah. Benci jauh lebih jujur daripada harapan yang dipelihara dengan pura-pura. Aku tidak baik, Kahlil. Dan aku muak menjadi perempuan yang harus terus berterima kasih karena ada lelaki yang sanggup mencintainya meski ia tak utuh. Itu bukan cinta. Itu pengorbanan. Dan cinta tidak seharusnya membuat seseorang merasa sedang menyelamatkan yang lain.

Adikmu—si kecil bisu yang selalu berdiri menatap layar. Aku tak pernah melihat wajahnya, tapi ia muncul di setiap cerita yang kau tulis. Dan ia mengingatkanku bahwa cinta yang tak terucap bukan berarti tak ada, dan itu juga berarti tak bisa dihitung. dan itulah diriku. Sebuah cinta yang tak bisa diminta pertanggungjawabannya.

Malam-malam setelah aku berhenti menjawab pesanmu, aku masih membuka layar untuk melihat apakah hatiku masih menyala. Aku menulis surat, lalu kuhapus sebelum dikirim. Ada yang ingin bicara, namun takut suaranya menghidupkan kembali sesuatu yang seharusnya dikubur. Aku tahu kau duduk di depan layar itu. Duduk dalam diam yang panjang. Dan aku tahu, kau akan tetap di sana walau tidak ada notifikasi yang muncul. Karena menunggu, bagimu, bukan soal waktu. Namun perihal kesetiaan pada sesuatu yang pernah membuatmu percaya bahwa dunia ini tidak sepenuhnya sepi. Namun dunia memang sepi, Kahlil. Dan yang mencoba menyangkalnya akan dihancurkan oleh harapan-harapan kecil yang terus gagal tumbuh. Aku tidak ingin kau hancur. Maka aku memilih menjadi yang menghancurkan lebih dulu. Aku tidak tahu bagaimana menulis penutup tanpa membuatnya terdengar seolah-olah semua ini bisa dilupakan. Tapi aku tahu satu hal: aku ingin kau berhenti menungguku. Aku ingin kau bangun dari kursimu, padamkan monitor itu, dan bukalah jendela. Dunia tidak akan berubah. Tapi mungkin, jika kau cukup berani, kau akan melihat bahwa ada pagi yang tetap datang walau aku tak lagi di ujung jaringan. Dan andai suatu hari nanti kau jatuh cinta lagi—pada perempuan yang hadir sepenuhnya—jangan bandingkan ia denganku. Aku bukan tolak ukur apa pun. Aku hanya jeda yang kau sempat percayai sebagai lagu. Dan lagu itu tak pernah selesai. Biarkan ia tetap tak selesai. Sebab jika ia selesai, kau akan menyadari bahwa nadanya tak layak kauhafalkan. Jangan cari aku. Jangan menulis lagi untukku. Dan jika adikmu menatap layar itu suatu malam, biarkan ia tahu bahwa perempuan yang dulu hadir hanya sebagai suara kini sudah jadi debu. Debu tak menyapa. Ia hanya beterbangan, lalu hilang. Aku bukan rumah, Kahlil. Aku bahkan bukan pintu. Aku adalah angin yang kebetulan lewat, dan sempat membisikkan sesuatu sebelum pergi.

Malam ini, aku ingin mematikan semua akun yang pernah kugunakan. Kata sandinya sudah kuhapus. Emailnya sudah kutenggelamkan dalam folder-folder kosong. Aku ingin menghilang seperti kabut yang tidak punya nama. Karena dengan begitu, kau tak akan punya alasan lagi untuk terus menghidupkanku di kepalamu. Dan jika suatu hari kau bermimpi tentangku, biarkan aku menjadi kabar buruk yang sudah tak perlu dibaca ulang.

Dan ini adalah yang terakhir, Kahlil. Aku ingin menulis padamu tentang malam terakhir sebelum aku benar-benar memutus semuanya. Malam ini hujan. Ia turun seperti ragu-ragu. Sama sepertiku saat mengetik kata perpisahan. Aku menyalakan monitor, dan seperti biasa, kau tidak ada. Tapi anehnya, justru di ketidakhadiranmu, aku merasa paling dilihat. Sebab tak ada yang lebih jujur dari layar yang tak memantulkan siapa pun.

Aku ingat kalimat yang pernah kau tulis: bahwa kehilangan pun punya suara, dan suara itu adalah napasmu sendiri yang memantul di tembok kosong. Sejak saat itu, aku belajar mengenali suaramu dalam diam. Dan malam itu, diamnya kau lebih nyaring dari sebelumnya. Aku hampir mengetik sapaan, satu huruf, lalu dua, lalu kuhapus semuanya. Aku takut kau akan menjawab. Sebab jika kau menjawab, aku tak akan sanggup meninggalkanmu.

Kahlil, kau laki-laki pertama yang tidak menyentuhku namun membuatku merasa telanjang. Kau tidak pernah meminta gambar, tidak pernah bertanya di mana aku tinggal, tak sekalipun memaksa tahu wajahku. Tapi kau selalu tahu saat aku sedih. Dan itu lebih menakutkan dari siapa pun yang pernah meraba tubuhku, karena kau menyentuh luka-luka yang bahkan aku sembunyikan dari diriku sendiri. Sebelum aku mematikan akun itu, aku menulis satu pesan, tanpa mengirimnya:

“Kau pantas dicintai oleh perempuan yang tidak takut akan pagi. Aku bukan perempuan itu.”

Kemudian aku menangis sebab tidak ada yang bisa kukembalikan padamu sebagai ganti dari semua yang sudah kau berikan: waktu dan malam dan kepercayaan, dan harapan kecil tentang pagi bersama yang tak pernah berani aku genggam.

Orang bilang perempuan yang meninggalkan adalah perempuan yang tidak cinta. Percayalah Kahli, justru karena aku cinta, aku pergi. Sebab cinta yang tahu diri adalah yang tahu kapan harus berhenti sebelum berubah jadi siksaan.

Aku pernah membayangkan, andai kita tinggal di kota yang sama, dan kau benar-benar mengundangku untuk bertemu. Aku tahu kau akan menungguku di halte atau di depan toko buku yang kau sebut-sebut itu, mengenakan baju hitam dan membawa satu buku catatan. Namun aku tak akan datang. Bukan karena aku membencimu. Melainkan karena aku tak bisa menghadapimu sebagai diriku sendiri. Kau akan melihat mataku dan tahu bahwa aku tak pernah percaya pada keajaiban yang kau bawa. Dan kau akan kecewa. Kau akan pulang dengan tubuh lebih berat dari saat berangkat. Maka lebih baik aku tetap jadi suara. Sebab suara, setidaknya, bisa kau kenang tanpa harus menangisi wajahnya. Ada perempuan yang bisa kau peluk, dan ada perempuan yang hanya bisa kau doakan dalam sunyi. Aku adalah yang kedua. Dan aku mohon, jangan ubah doamu jadi penantian. Karena tak ada yang kembali dari tempat yang tak pernah nyata.

Malam ini, aku membiarkan diriku menangis. Lebih karena aku merasa kehilangan seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkanku jika saja aku tidak lebih dulu tenggelam. Dan untuk terakhir kalinya, aku akan menuliskan namamu dengan tangan sendiri di kertas kecil yang nanti akan kubakar. Supaya kau tahu, aku pernah menyebutmu dalam doa, walau tak pernah menyentuhmu dalam nyata.

Selamat tinggal, Kahlil. Jika malam ini kau terbangun dan melihat layar yang kosong, anggap saja aku sedang berusaha mengembalikan cintamu ke tempat yang seharusnya: bukan padaku, tapi pada dunia yang tak sekejam aku.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top