Sebelum Rubuh

Aku tak tahu sejak kapan punggungku berhenti tumbuh. Tapi aku ingat dengan baik pertama kali tulang belakangku memekik nyaring, ketika Ibu menyuruhku mengangkat karung berisi besi dari lapak depan menuju dapur belakang. Besi-besi itu berkarat dan berair, dan meneteskan bau getir yang lengket di kulitku selama berhari-hari, hingga malam pun aku tidur dengan napas terputus-putus dan bangun dengan mimpi dililit kawat duri. Ibu hanya berkata, “Kalau kau tidak kuat kerja, besok kita tidak makan.” Dan aku mengangguk seperti budak kecil yang baru dicetak dari rahim pabrik. Aku kira semua anak harus begitu. Orang-orang menyebut tempatku tinggal sebagai rumah. Namun bagiku itu lebih mirip penjara tanpa jeruji sebab setiap pagi Ibu menggantung kunci di leherku, dan setiap sore Ayah pulang membawa amplop kosong sambil mengomel soal dunia yang terlalu keras untuk lelaki sepertinya. Aku belajar menulis di lantai semen yang lembap, belajar menghitung dengan menjual karet gelang di pinggir jalan, belajar sabar dengan menahan tangis saat adikku memuntahkan bubur terakhir yang berhasil kubeli dari sisa uang ngelap meja warung. Dan aku harus tertawa jika Ayah bilang aku anak paling kuat, sebab tawa adalah satu-satunya yang tidak dikenai pajak di rumah ini.

Aku memanggul beban lebih berat daripada tubuhku, sebab tubuhku terlalu ringkih untuk menolak, dan terlalu dipaksa untuk menunda. Setiap sore aku membawa pulang pakaian-pakaian kotor dari rumah-rumah tetangga yang percaya cucian bisa lebih wangi jika dikerjakan oleh tangan yang lapar. Aku cuci semuanya di kamar mandi yang airnya lebih sering mati daripada hidup. Kadang-kadang aku mencuci sambil jongkok setengah telanjang, sementara adikku yang masih kecil duduk di ember plastik sambil menggigit sabun. Aku tak pernah bisa memilih cara hidupku, sebab orang miskin tidak pernah ditanya mau makan dengan cara apa. Di sekolah, aku lebih sering dihukum. Aku jarang membawa buku, sebab uang saku lebih berharga untuk membeli nasi bungkus dua ribuan yang hanya berisi tempe goreng tipis seperti upil Tuhan. Teman-temanku tertawa saat melihatku memakai sepatu robek, tertawa saat melihat rambutku yang lengket karena tak sempat keramas, tertawa saat aku tak bisa menjawab soal matematika karena malam sebelumnya aku sibuk menjahit sobekan celana ayahku. Aku juga tertawa. Sebab jika aku menangis, siapa yang akan menyeka air mataku?

Setiap malam, aku mendengar pertengkaran. Kadang Ayah melempar gelas, kadang Ibu memaki sambil memegangi perutnya yang tak henti nyeri karena rahimnya sudah lama ingin pensiun dari kemiskinan. Aku mendengar suara piring pecah, suara bantingan pintu, suara napas Ibu yang mengerang seperti hewan tua yang diminta beranak lagi. Dan aku hanya bisa menunggu sampai semuanya sunyi, lalu turun dari ranjang dan membersihkan darah yang mengalir dari hidung adikku karena tertimpa kursi. Sesekali pernah aku berpikir untuk kabur. Tapi ke mana? Ke terminal? Ke stasiun? Ke surga yang konon dijanjikan kepada anak-anak yang berbakti? Aku tak tahu di mana letak surga itu, sebab sepanjang hidupku hanya ada lorong sempit penuh tikus dan nyamuk, dan tidak satu pun memiliki pintu keluar. Aku takut jika lari dari rumah, aku hanya akan sampai di jalanan yang lebih bising, dengan orang-orang yang lebih banyak menyumpah daripada menyapa. Maka aku tetap di sini, menggosok panci dan menjahit baju dan menyeterika seragam adikku dan menyiapkan kopi ayahku, dan menyembunyikan tangisku di balik tudung wajan.

Di usia empat belas tahun, aku sudah bisa membedakan suara lapar dengan suara rindu. Lapar terdengar seperti perut Ibu yang berteriak, sementara rindu terdengar seperti bisikan samar dari tubuhku yang ingin disentuh tanpa alasan kerja. Kadang aku menyentuh diriku sendiri untuk memastikan bahwa tubuhku masih ada, bahwa aku belum berubah menjadi mesin yang hanya tahu bekerja dan disuruh. Aku mencubit pahaku, menekan leherku, dan meraba dadaku yang belum juga tumbuh. Dan aku sadar, bahkan tubuhku pun menolak untuk dewasa di dunia yang terlalu kejam untuk remaja miskin. Seseorang pernah berkata padaku: “Perempuan harus kuat.” Namun tidak ada yang mengajariku bagaimana cara menjadi kuat saat hidup hanya memberiku nasi tanpa garam, tidur tanpa lampu, dan sekolah tanpa harapan. Aku belajar sendiri, dengan cara menyimpan tangis, menggigit bibir hingga berdarah, dan berjalan ke pasar dengan baju yang bau sabun cuci. Aku tahu dunia tidak adil. Tapi aku juga tahu bahwa aku bukan siapa-siapa untuk menuntut keadilan. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Hari demi hari. Luka demi luka. Dan begitulah aku tumbuh. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa hidup begini. Tapi setiap kali aku melihat adikku tertidur lelap meski perutnya kosong, aku tahu aku tidak boleh berhenti. Sebab jika aku berhenti, siapa yang akan menggantikan peranku sebagai tulang punggung keluarga yang tak pernah diminta, namun selalu dipaksa?

Aku mulai sadar bahwa waktu bukan sesuatu yang kupunya. Pagi selalu datang dengan dengan suara Ibu yang membangunkanku seperti membangunkan kambing yang akan dipotong. Aku membuka mata dengan rasa letih yang tak pernah usai, seolah tidur hanyalah jeda untuk kembali disiksa. Aku ke pasar sebelum ayam jantan sempat berkokok, membawa tas anyaman dari karung bekas, berisi sabun cuci, alat pel, dan sebotol semangat palsu. Di pasar, aku jadi tukang bersih, pelayan tak bernama. Mereka memanggilku “dek” atau “eh” atau bahkan tak memanggil sama sekali. Di antara genangan darah ikan dan potongan ayam yang dikerubungi lalat, aku menyeka lantai. Bau amis merayap naik ke lubang hidung, dan aku hanya bisa bernapas lewat mulut sambil menahan mual. Satu-dua kali aku muntah sebab perutku belum menerima apa-apa selain angin. Pedagang-pedagang itu memberiku upah seadanya, sering kali dengan omelan atau tepukan tak sopan di pinggang. Kadang mereka bertanya, “Masih kecil kok kerja sih? Mana orang tuamu?” Sesungguhnya mereka tak benar-benar peduli jawabannya. Mereka hanya ingin merasa seolah-olah mereka lebih baik dariku. Aku tak punya waktu untuk menjawab. Aku hanya menunduk dan terus mengepel. Dan ketika sore datang, tubuhku seolah telah remuk. Di rumah, Ibu sudah menungguku dengan daftar pekerjaan baru: mencuci piring, menyapu halaman, menggendong adik yang terus menangis. Ibu tak pernah bertanya apakah aku lelah. Ibu tak pernah bertanya apa aku bahagia. Ibu hanya bilang, “Cepat kerjakan, jangan malas.” Aku menurut, sebab aku tahu jika aku membantah, tangan Ayah akan berbicara lebih keras daripada suara Ibu. Dan ketika malam datang, tubuhku seperti tak lagi menjadi milikku. Rasanya seperti aku hanya menyewa tubuh ini untuk satu hari. Esok, jika aku beruntung, aku bisa menyewanya lagi. Jika tidak, mungkin aku akan rubuh di jalanan, dan tak seorang pun akan mengangkatku. Pernah suatu malam, aku jatuh pingsan di dapur saat tengah mencuci beras. Kepalaku membentur lantai, dan darah menetes dari hidungku. Namun tak ada yang panik. Ibu hanya berkata, “Itu karena kamu kurang makan. Cepat bangun, berasnya tumpah.” Dan aku bangkit dengan kepala berdenging, menyapu darahku sendiri, lalu mencuci ulang beras yang telah teraduk dengan debu. Aku kira itu biasa. Aku kira semua orang hidup seperti itu. Namun ketika aku melihat teman-temanku di sekolah tertawa, bercerita tentang drama Korea atau sepatu baru yang mereka beli bersama ibunya di pusat perbelanjaan, aku merasa seperti orang asing. Aku tidak pernah tahu rasanya dimarahi hanya karena pulang terlambat dari mall. Aku tidak tahu rasanya dibelikan boneka, atau dikecup di kening saat demam. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya mencintai diri sendiri, sebab tak ada yang pernah mencintaiku dengan cukup untuk memberiku contoh. Lambat laun, aku mulai kehilangan rasa terhadap hidup. Aku makan karena harus makan, bukan karena lapar. Aku tidur karena tubuh ini memaksa tidur, bukan karena ada mimpi yang menunggu. Aku tertawa karena dunia menuntut sedikit hiburan, bukan karena ada yang lucu. Aku tumbuh, tetapi bukan dengan gembira. Kadang aku membayangkan, andai saja aku bukan aku. Mungkin aku lahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang cukup. Mungkin aku punya kamar sendiri, meja belajar, dan lampu tidur. Mungkin aku bisa menangis jika sedih, bukan menyembunyikannya di balik cucian kotor. Namun semakin kupikirkan, semakin aku tahu bahwa harapan adalah lelucon yang kejam. Aku bukan siapa-siapa, dan aku lahir bukan untuk dimanja. Aku adalah pelengkap bagi orang lain, bukan pusat dari cerita.

Ayah semakin sering pulang dengan wajah mabuk. Mulutnya bau arak, dan kata-katanya lebih mirip muntahan daripada kalimat. Ia sering bilang, “Kamu anak yang tidak tahu diri. Kalau bukan karena aku, kau sudah mati di pinggir got.” Dan aku ingin menjawab, “Kalau bukan karena aku, kalian sudah mati kelaparan.” Namun aku tahu, bibirku akan pecah jika aku mengucapkannya. Jadi aku diam. Dan diam itu jadi kebiasaan, hingga aku lupa bagaimana caranya bicara tentang perasaan sendiri.

Di sekolah, guru Bahasa memberiku nilai 8 untuk puisi yang kutulis tentang tubuh yang lelah. Ia bilang puisiku menyentuh. Padahal aku tidak menulis puisi. Aku hanya menulis keluhanku di belakang kertas tugas, sebab tak tahu harus menumpahkannya ke mana. Namun karena itu bernada sedih, mereka pikir aku berbakat. Mereka tidak tahu, puisi itu kutulis dengan jari yang sesakitan sebab tergencet pintu saat mengangkat galon. Mereka tidak tahu, puisiku hanyalah jeritan yang tak berani keluar lewat mulut.

Hari berganti malam, dan malam membawa suara tikus dari plafon dan suara batuk Ibu dari dapur. Aku terbangun di atas tikar, adikku mengigau, Ayah mendengkur seperti babi disembelih. Dan aku kembali bertanya, apa sebenarnya arti rumah jika semua penghuninya hanya bertahan karena keterpaksaan? Aku ingin pergi. Tapi aku takut. Sebab aku tahu, dunia di luar sana pun tak lebih ramah dari dalam rumah ini.

Namun malam itu, saat aku menatap langit, aku sadar satu hal bahwa aku tak bisa terus begini. Jika hidup memang tidak akan memberiku ruang, maka aku harus menciptakan ruang itu sendiri, bahkan jika itu berarti mengorbankan yang tersisa dari tubuhku.

Malam-malam berikutnya aku terjaga lebih lama. Aku duduk di bawah cahaya redup bohlam 5 watt yang menggantung miring, menatap adikku yang tertidur memeluk botol susu kosong. Ibu di dapur, duduk menggigil, menahan sakit perut yang tak kunjung reda. Dan Ayah, seperti biasanya, menghilang tanpa kabar. Aku mulai berpikir untuk menjual satu-satunya benda berhargaku—rambutku. Panjangnya hampir menyentuh pinggang, hitam dan lurus, meski kadang kusut oleh sabun deterjen. Konon rambut sepertiku bisa dijual untuk wig. Aku tidak peduli dipakai siapa. Aku hanya butuh uang.

Aku memotongnya sendiri dengan gunting dapur. Di depan cermin yang retaknya membelah bayanganku menjadi dua. Aku membungkus rambut itu dengan kertas nasi dan membawanya ke toko aksesoris di pasar. Mereka menawarkannya lima puluh ribu. Aku ingin bilang itu terlalu murah. Namun aku tahu tak ada bagian dari diriku yang bisa dihargai mahal. Aku menerimanya. Uang itu kugunakan untuk membeli obat Ibu dan sedikit beras. Saat pulang, Ibu hanya memandangku sebentar. Ia tidak bilang terima kasih. Ia juga tidak bertanya kenapa rambutku habis. Ia hanya berkata, “Besok bangun lebih pagi. Kita harus cuci dua karung baju tambahan dari Bu Sarti.” Aku mengangguk. Dan aku tahu, tubuhku akan terus dikoyak oleh pekerjaan yang tak selesai, sebab rumah ini adalah ladang penyiksaan yang menyamar sebagai keluarga.

Aku mulai kehilangan arah. Aku tak tahu apa yang harus kukejar. Sekolah hanya memberiku seragam bau apek dan tugas-tugas yang tidak bisa kusempatkan. Hidup hanya memberiku detik-detik panjang yang terasa seperti luka yang ditarik-tarik agar tak kering. Dan tubuhku—tubuh ini—terus digadaikan tanpa persetujuan. Ketika aku menstruasi pertama kali, aku takut memberitahu Ibu. Aku menyembunyikan bercaknya dengan sobekan tisu toilet. Aku berdiri terlalu lama di kamar mandi, hingga lututku gemetar dan tubuhku jatuh terduduk di lantai yang becek. Sejak saat itu, setiap bulannya aku membawa sakit baru yang tak bisa kuadukan pada siapa pun. Aku bekerja sambil menahan nyeri, menyapu sambil menahan gumpalan darah, mencuci sambil menahan perih di selangkangan. Aku mencintai tubuhku seperti budak mencintai tuannya. Aku tahu ia lelah. Tapi siapa lagi yang bisa kugunakan untuk bertahan?

Satu malam, Ibu jatuh pingsan di tengah halaman setelah buang air. Ia kelelahan, tubuhnya sudah menua sebelum waktunya, perutnya meringkuk seperti kain pel basah yang dibuang begitu saja. Aku menggendongnya masuk, meski badanku sendiri hampir rubuh. Tak ada siapa-siapa yang membantu. Ayah belum juga pulang. Adikku hanya menangis karena takut. Dan aku harus berpura-pura kuat. Sebab jika aku juga menangis, rumah ini akan benar-benar runtuh. Di malam itu, aku memutuskan sesuatu. Aku akan pergi. Sebab kupikir aku  harus menyelamatkan sesuatu yang tersisa dari diriku. Aku tidak tahu ke mana. Mungkin pabrik roti di ujung kota yang katanya menerima anak-anak. Atau rumah tangga orang kaya yang butuh pembantu murah. Aku bahkan tidak takut dipukul atau dihardik. Asalkan aku bisa menabung sedikit uang, dan kembali suatu hari untuk membawa adikku pergi. Aku tidak ingin ia tumbuh dan menjadi aku.

Aku mencuri uang Ayah. Lima puluh ribu dari dompetnya yang tergeletak saat ia tidur mendengkur dalam keadaan mabuk. Aku menuliskan surat untuk Ibui. Aku menulis: “Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu, Bu. Aku pergi karena kita harus punya pintu keluar. Tolong jaga adik. Aku akan kembali membawa rumah baru.” Dan aku melipat kertas itu, menyelipkannya di bawah bantal Ibu, lalu melangkah keluar saat langit masih gelap dan anjing-anjing masih tidur.

Aku berjalan menuju terminal. Tidak ada yang mengiringiku. Tidak ada pelukan, tidak ada air mata. Aku sendiri, sebagaimana selama ini aku memang selalu sendiri. Aku naik angkot tanpa tahu pasti tujuannya, duduk di pojok, memeluk tas plastik yang berisi baju lusuh dan dua potong roti. Di jendela, bayanganku terlihat asing. Rambutku pendek, wajahku tirus, mataku cekung. Tapi aku tidak takut. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa memiliki kendali.

Dan saat angkot mulai bergerak, aku tahu kalau penderitaanku belum selesai. Dunia tidak menunggu untuk menjadi baik hanya karena aku berani. Namun untuk pertama kalinya, aku punya arah. Aku tahu rasa sakit tidak bisa dihapus, tapi bisa disalurkan. Aku tahu luka tidak bisa dilupakan, tapi bisa dipelajari. Namaku bukan siapa-siapa. Tapi kelak, jika dunia bertanya siapa yang pernah bertahan hidup dengan sisa tubuh yang diperah habis oleh kemiskinan, maka mungkin seseorang akan menulis tentangku. Dan jika tidak, setidaknya aku akan menulis sendiri kisah itu. Di dalam tubuhku yang ringkih, aku masih menyimpan cerita yang belum selesai.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top