Senja ketika dua anak lelaki berkelahi di depan rumah mayat, dan kepala dusun justru sibuk mengoleskan minyak kelapa ke betis jenazah ibunya. Mereka tidak tahu bahwa jenazah itu masih bisa mendengar, sebab ia memang belum benar-benar mati, atau barangkali tidak pernah benar-benar hidup. Namun demikian, kampung Tanjung Senyum, tempat semua itu terjadi, memang sudah lama mencurigai bahwa kematian hanya cara lain untuk mencuci tangan dari rasa malu. Dan sebab itu, tak ada yang benar-benar bersedih, bahkan ketika darah mulai mengalir dari sudut matanya.
Mereka menyebutnya Ibu Mayat—bukan karena ia suka tidur di atas nisan, meskipun itu pun benar, atau karena ia pernah membuntingi lelaki gila dari kolong jembatan yang mengaku sebagai nabi terakhir—melainkan sebab ia lebih sering berada di kamar mayat ketimbang di rumah sendiri. Sesungguhnya ia tak punya rumah, dan sebab itu pula ia tinggal di ruang kecil tempat orang-orang dibaringkan tanpa nadi. Ia tidur di antara dingin es dan kutukan sisa-sisa, menyisir rambut orang mati, menyulam taplak kafan, mencium kulit yang sudah membiru. Ada yang bilang ia menderita kelainan, namun kampung ini sudah terbiasa tidak mempercayai hal-hal yang terlalu klinis. Ia bukan orang gila, sebab orang gila masih suka tertawa. Sedangkan ia, hanya pernah menangis sekali, itu pun saat seekor kucing mati dicekik oleh anak perempuannya sendiri.
“Aku mau rambutku dikepang seperti nenek di kamar itu,” kata anaknya suatu malam, sambil memeluk kepala boneka yang dicat menyerupai wajah dewa.
“Kalau kau mati besok, Ibu akan kepang,” jawabnya singkat.
Anak itu memang mati tiga hari kemudian, tenggelam di sumur buta yang katanya dihuni oleh arwah petani yang digantung karena mencuri biji lada. Tak seorang pun percaya bahwa Ibu Mayat mendorongnya, namun juga tak ada yang cukup yakin bahwa ia tidak melakukannya. Sebab tak ada ibu waras yang membalsem tubuh anaknya sendiri dengan pelan-pelan, menyanyikan lagu nina bobo dari masa penjajahan, lalu menaruh tubuh kecil itu di atas dipan jenazah dan menguncir rambutnya seperti pengantin.
Ia bahkan tidak mengizinkan pemakaman.
“Simpan di sini. Ia tidak suka tanah,” katanya.
Demikianlah anak itu tinggal selama bertahun-tahun dalam kamar bersuhu enam derajat, dengan mata terbuka, dan telinga yang mulai mengelupas seperti kulit jeruk yang dikupas tak sabar. Orang-orang tak protes, sebab sesungguhnya semua sudah lelah protes. Dusun itu lebih percaya pada kematian ketimbang keadilan, dan sebab itu, membiarkan seorang ibu menyisir rambut mayat anaknya setiap malam terasa lebih masuk akal ketimbang membawa urusan itu ke kantor kecamatan yang lebih sering jadi tempat pejabat bersetubuh dengan janda muda.
Namun senja kala itu, kepala dusun menemukan sehelai surat di bawah bantal jenazah ibunya. Tulisannya tidak rapi, seolah dicatat oleh tangan yang gemetar atau terlalu terbiasa menyentuh daging dingin.
“Kalau aku hidup kembali, jangan buatkan aku bubur. Aku benci bubur. Aku ingin nasi padang.”
Kepala dusun tak mengerti, atau mungkin pura-pura tak mengerti, sebab tak ada pejabat di dusun itu yang benar-benar ingin mengerti. Maka ia diam, lalu menyalakan dupa untuk menyamarkan bau busuk yang mulai merayap dari sela-sela papan. Pada saat yang sama, dua anak lelaki yang berkelahi di halaman rumah mayat mulai memuntahkan belatung dari mulut mereka. Mereka bilang itu bukan karena kutukan, melainkan sebab mereka memakan roti yang diberikan oleh Ibu Mayat tiga hari lalu. Dan sesungguhnya, sejak kapan ada ibu yang membagikan roti kepada anak orang lain, padahal anaknya sendiri sudah dilumuri formalin dan tak bisa lagi mengunyah? Kabar itu menyebar seperti cacar. Bahwa Ibu Mayat tidak hanya menyisir rambut mayat, tapi juga mulai membuat roti dari tepung yang diaduk dengan air mata dan abu tulang. Bahwa setiap gigitan adalah doa yang terbalik, dan sebab itu setiap orang yang makan akan kehilangan sesuatu: mata, gigi, ibu jari, atau keyakinan bahwa dunia ini masuk akal. Namun tak seorang pun menegurnya secara langsung, sebab ia perempuan, dan lebih dari itu, ia perempuan yang pernah membunuh suaminya sendiri lalu menaruh penisnya dalam toples kaca untuk dijadikan pajangan. Dan sesungguhnya, sejak toples itu ia letakkan di rak paling atas rumah mayat, tak satu pun maling berani masuk. Bahkan nyamuk pun ogah singgah, seolah penis tua itu memancarkan aura jera dan jahanam.
“Ia bukan perempuan,” kata seorang lelaki pemabuk yang pernah berusaha memperkosanya. “Ia neraka.”
Namun bahkan neraka pun bisa kesepian. Pada suatu malam, ia duduk sendirian di atas peti mati kosong, merajut rambut palsu dari rambut mayat yang dipotong diam-diam, lalu menyanyikan lagu dari zaman Jepang yang tak lagi diingat maknanya. Di luar, seekor kuda melenguh keras, lalu meledak seperti bom. Kepala dusun berkata itu pertanda buruk, atau pertanda bahwa pemerintah akan datang. Tapi tak ada yang benar-benar peduli, sebab kuda meledak bukanlah hal aneh di Tanjung Senyum. Yang lebih aneh adalah ketika Ibu Mayat mulai mengandung lagi, meskipun tak ada yang mengingat kapan terakhir kali ia berhubungan badan. Beberapa berakta bahwa ia ditiduri oleh roh penasaran. Beberapa percaya ia menyuntikkan sperma mayat ke rahimnya. Dan satu orang percaya bahwa ia memang tidak pernah mandul, hanya malas menghidupkan manusia baru. Namun yang tak bisa dipungkiri adalah perutnya membesar, dan suara janin di dalamnya terdengar seperti suara orang mengetuk pintu dari dalam peti mati.
“Aku akan melahirkannya di kamar es,” katanya.
Tak ada yang protes, sebab semua tahu bahwa protes hanya akan membuatnya menyisir rambut mereka lebih cepat dari waktunya. Pada malam kelahiran itu, listrik padam. Namun ia tak butuh lampu. Ia membuka pahanya sendiri, memasukkan tangannya ke liang berdarah, dan menarik bayi itu keluar sambil menggigit tali pusarnya seperti binatang. Bayi itu menangis, serupa jeritan lelaki tua yang menyesal tidak menampar anaknya sendiri sebelum meninggal.
Ia membalsem bayi itu sejak hari pertama.
“Agar tidak busuk,” katanya. “ Sebab Dunia terlalu cepat membusuk.”
Namun bayi itu tidak mati. Ia menyusu dari dada yang sudah lama tak keluar susu. Ia belajar bicara dari mulut-mulut jenazah. Ia berjalan dengan langkah kaku, seperti mayat yang malas dikubur. Ia tertawa ketika melihat orang menangis. Dan yang lebih mengerikan ia menyebut dirinya sendiri sebagai “ayah”.
“Ayah lapar,” katanya, sambil menunjuk kepala boneka yang disimpan ibunya di atas dipan.
Ibu Mayat tak menolak. Ia membakar boneka itu, lalu menyajikan abunya sebagai bubur.
“Ayah tidak suka bubur,” katanya lagi sambil tersenyum.Lalu menggigit jari ibunya hingga putus. Demikian, kampung Tanjung Senyum kehilangan satu jari lagi, sebab setiap warga adalah satu tubuh. Dan tubuh yang kehilangan satu bagian, akan terus pincang bahkan saat berjalan di atas tanah mimpi. Namun sesungguhnya, cerita ini tak akan berakhir dengan kematian. Sebab mereka yang mati, tidak pernah pergi. Mereka hanya tidur di bawah dipan, menunggu disisir kembali rambutnya, disulam ulang wajahnya, atau ditanya apakah mereka ingin bubur atau nasi padang. Sebab satu-satunya yang lebih jujur dari ibu adalah mayat. Dan satu-satunya yang lebih kekal dari ibu adalah luka yang ia rawat sendiri di bawah cahaya lampu mati. Keesokan harinya, kamar es itu meleleh. Dan di dalam genangan air asin, warga menemukan potongan-potongan tubuh tanpa kepala, perempuan tanpa kaki, penis dalam toples yang pecah, dan surat dari anak yang pura-pura mati:
“Ibu sudah selesai menyisirku. Kini giliran kalian.”