Tak Ada Tuhan di Bawah Rok Perempuan

Sore ketika Rengganis menikam kelamin bekas pacarnya dengan tusuk sate kambing yang baru setengah terbakar, langit menggumpal seakan menyesali semua hujan yang pernah ia tumpahkan ke desa Giripeni, dan orang-orang masih saja menyebut itu sebagai semacam peristiwa setan padahal Rengganis bahkan belum mandi sejak empat hari lalu dan darah yang menetes dari tubuh lelaki itu lebih menyerupai air sirup yang gagal mengeras dalam lemari es warung Suroyo. Demikian, tubuh lelaki itu terkapar seperti beras yang dilempar ke lantai lumbung, sebab tidak cukup pantas dijadikan bubur, dan terlalu murah untuk dibuang. Ia menggeliat sebab merasa harga dirinya dicungkil seperti mata ikan, dan lebih-lebih karena mendengar suara Rengganis tertawa sambil menyebut nama perempuan lain.

“Ira,” begitu katanya, lirih dan tolol, seakan seluruh penghianatan itu bisa dihapus hanya dengan menyebut satu nama yang tak seharusnya disebut saat tusuk sate mencabik kantung pelirnya. Namun, tiga hari sebelum kejadian itu, Rengganis masih melipat celana dalam lelaki itu dengan hati-hati, dan meletakkannya di rak kayu warisan neneknya yang kini hanya terisi kamper dan buku-buku Wiro Sableng edisi robek. Ia bahkan memasak rawon dari resep ibu si lelaki, yang dulu pernah menyebutnya perempuan tanpa dada dan harga diri sebelum kemudian meninggal karena jantungnya lelah melihat anaknya memeluk dua perempuan sekaligus di acara nikahan saudara jauh.

Sementara itu, tiga tahun sebelumnya, di gang sempit dekat musala yang kini jadi tempat mangkal bencong pensiunan kuli batu, Rengganis masih percaya bahwa cinta bisa bertahan kalau kau kuat menerima ludah dan tamparan, dan omong kosong yang selalu datang dengan embel-embel, “Aku laki-laki, wajar dong?” Dan ia memang menerimanya, sebab ayahnya sendiri dulu menampar ibunya setiap kali gaji telat turun, dan ibunya akan tetap memasak, mencuci, dan tidur di ranjang yang sama sambil menggigit saputangan karena takut suaranya terdengar.

Namun, di hari keenam bulan Sura, ketika pasar diguyur hujan yang membuat bau amis ikan bercampur lendir dari got, Rengganis melihat lelaki itu mencium bibir Ira di belakang kandang kambing. Mereka tak tahu ia melihat, atau mungkin tahu namun sengaja memperagakan semuanya, sebab yang mereka lakukan bukan sekadar ciuman, melainkan sebuah penghinaan terhadap mereka yang terlalu setia untuk berpaling.

“Ia bukan laki-laki,” kata Suroyo sambil mengunyah kerupuk gendar, “Ia lebih mirip celurit yang kau anggap cantik, tapi tajamnya cuma menusuk yang lemah.” 

Satu malam sebelum tusuk sate itu menemukan sasarannya, Rengganis bermimpi melahirkan bayi berkepala ganda—satu menangis, satu tertawa—dan dari mulut si bayi keluar suara Ira, mengaji. Ia bangun dengan darah dari luka yang digaruknya sendiri karena tak tahan mendengar nama itu muncul di tengah tidur. Ia lalu ke dapur, mengambil sebilah pisau, menatapnya lama-lama, tidak menusuk siapa pun. Ia hanya menaruh pisau itu di bawah bantal, sebab di rumah ini, tak ada tempat yang cukup aman untuk menyembunyikan kebencian kecuali tempat yang biasa menyimpan mimpi.

Besoknya, ia membeli sate kambing dari warung Mak Lastri, yang dagingnya kadang dicampur daging kucing jalanan, sebab harga daging kambing tak pernah bisa mengejar jumlah lelaki bangsat yang harus dihukum. Ia menunggu lelaki itu di warung Suroyo, tempat di mana mereka pertama kali bertemu saat ban sepeda motor lelaki itu bocor dan Rengganis yang saat itu sedang mengejar maling sandal menabraknya dari belakang. Sejak saat itu mereka tidur bersama dan kemudian bercinta seperti anjing di musim kawin.

“Ini sate terakhir yang akan kau makan,” kata Rengganis saat lelaki itu duduk di depannya.

“Kenapa? Kau masak racun?” jawab si lelaki, sambil tertawa, lalu melirik paha Rengganis seakan tubuh perempuan itu adalah miliknya, seakan luka-luka di sana adalah tanda tangan yang sah. Dan saat ia tertawa lebih keras karena mengira itu lucu, Rengganis menancapkan tusuk sate ke kemaluannya, pelan, tidak gegabah, sebab kebencian yang sesungguhnya tak pernah tergesa-gesa. Ia bahkan melakukannya dua kali sebab yang kedua terasa lebih sahih. Lelaki itu tidak kabur. Ia tidak menjerit. Ia tidak memaki atau berusaha meninju Rengganis. Ia hanya terdiam, dengan darah mengalir di antara kaki, dengan wajah yang lebih kebingungan ketimbang kesakitan, sebab di saat-saat terakhir, sebelum pingsan dan sebelum dibawa warga ke Puskesmas yang perawatnya sudah muak melihat luka akibat cinta, ia justru sempat berkata: “Kau tahu, aku sebenarnya tidak pernah cinta Ira.”

Kalimat itu tak menyelamatkannya. Sebab bahkan Tuhan pun muak dengan pembelaan laki-laki di menit akhir. Dan Rengganis, yang sejak kecil hidup di rumah beraroma cuka dan bekas sperma di sprei ibunya, tidak pernah diajarkan cara memaafkan. Ia hanya tahu bahwa kalau seseorang menyentuh tubuhmu tanpa izin, maka jarimu berhak menusuk matanya. Kalau seseorang memanggilmu sundal, maka namanya pantas dikubur bersama bangkai anjing. Dan kalau seseorang mengkhianatimu setelah kau cuci pantatnya saat ia diare, maka tak ada lagi harga dirinya yang patut dipertahankan.

Ia ditangkap malam itu juga. Namun, polisi yang datang adalah sepupu jauh dari ibunya, dan sebab desa ini lebih percaya pada karma ketimbang hukum, maka prosesnya tak berlangsung lama. Rengganis dibawa ke kantor kepala dusun, disuruh duduk, diberi segelas teh manis , lalu diminta menjelaskan dari mana ia dapat tusuk sate itu.

“Aku beli dari Mak Lastri,” katanya tenang.

“Kenapa kau tusuk kemaluannya?” tanya Pak Dusun.

“Karena mukanya terlalu jauh dari hatinya.”

Tak ada yang tertawa. Sebab semua tahu itu benar. Dan tidak ada yang berani membantah, sebab Rengganis bukan perempuan biasa. Sepuluh tahun sebelum semuanya, ia masih gadis ingusan yang suka menggambar kelamin laki-laki di halaman belakang buku pelajaran, sebab ia percaya tubuh laki-laki lebih mudah dimengerti ketimbang hati ibunya. Dan gambar-gambar itu kini menjadi semacam arsip dendam. Ia tidak gila, tapi desa ini memang butuh orang yang dianggap gila agar kejahatan bisa dimaafkan. Maka setelah dua hari ditahan, dan karena lelaki itu tidak mati, hanya jadi impoten dan lebih sering menangis ketimbang bicara, Rengganis dibebaskan. Dengan syarat ia harus pindah dari Giripeni. Ia tidak menolak. Sebab tempat ini hanya menyimpan aib dan abu. Aib dari nama belakangnya yang masih diingat sebagai anak perempuan pelacur, dan abu dari kucing piaraannya yang dibakar hidup-hidup oleh anak-anak karena dianggap pembawa sial.  Lima tahun kemudian, ia kembali. Tanpa aba-aba, tanpa undangan, tanpa penjelasan. Ia turun dari bus, membawa koper kecil dan mata yang tak lagi berkedip kalau mendengar kata “Ira.” Ia berdiri di depan warung Suroyo, yang kini jadi tempat jual beli togel, dan tertawa pelan saat melihat lelaki itu—bekas pacarnya—sedang duduk di kursi plastik, menggigil, dengan celana yang selalu longgar karena tak lagi dibutuhkan.

“Ia kembali,” bisik orang-orang. Namun tak ada yang berani menyapanya. Bahkan Suroyo yang kini sudah tobat dan ikut pengajian rutin pun memilih masuk ke dalam saat Rengganis lewat, Ira yang sekarang jadi istri lelaki itu, dengan dua anak dan sebuah toko sembako kecil justru keluar. Ia tak menunduk. Tak menggertak. Tak juga menyapa. Ia hanya berdiri, memandangi Rengganis, lalu meludah ke tanah. Rengganis tidak membalas. Ia hanya membuka kopernya, mengambil satu tusuk sate yang dibungkus kertas minyak, dan meletakkannya di depan pintu toko Ira.

“Untuk mengenang cinta yang gosong,” katanya, lalu pergi. Tak ada yang tahu ke mana ia setelah itu. Ada yang bilang ia naik ke gunung dan membuka warung jamu, ada yang bersumpah melihatnya di kota menjual celana dalam bekas dengan wajah tanpa ekspresi. Namun yang pasti lelaki itu mati setahun setelah kunjungan Rengganis, bukan karena tusuk sate, bukan juga karena dendam, tapi karena tubuhnya terlalu lama menahan ketakutan yang tak bisa dikencingkan. 

Dan Ira, dalam satu kesempatan, pernah berkata pada anaknya, “Kalau ada perempuan yang bilang tidak takut mati, maka jangan pernah menyakitinya.”

Sebab tidak ada Tuhan di bawah rok perempuan yang telah dikhianati. Yang ada hanyalah darah dan tulang, dan seutas niat untuk membuat dunia mengerti bahwa cinta bisa berakhir di meja sate, dan luka tak perlu alasan untuk hidup lebih lama dari pelakunya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top