Demi bintang yang tak terhitung di cakrawala,
dan demi pasir yang tak dapat kau kumpulkan di telapak tangan;
demi angin yang datang dari segala penjuru,
aku hendak melagukan kidung tentang cinta yang tak terukur.
Aku mencintainya seperti laut mencintai bulan;
meski dipukul ombak, meski ditarik pasang,
namun pantai senantiasa menantinya di tiap senja.
Aku mencintainya seperti tanah mencintai akar;
meski akar mencabik perutnya, meminum cairannya,
namun ia tetap mengandungnya dengan rindu yang tak habis.
Aku mencintainya seperti api mencintai kayu;
meski kayu hancur menjadi abu,
namun nyala api semakin tinggi, semakin bersemayam di langit.
Dan aku berkata kepada langit:
“Lihatlah perempuan yang kucintai itu;
langkah kakinya menggetarkan jalan-jalan kota,
bau tubuhnya mengubah malam menjadi fajar,
senyumnya meruntuhkan benteng-benteng hatiku.”
Aku berkata kepada bumi:
“Terbukalah, hai tanah, dan telan aku bersama cintaku ini;
sebab aku ingin mencintainya sampai daging dan tulangku tiada,
dan hanya rohku yang mengelilinginya seperti kabut di pagi hari.”
Di matanya ada ribuan sungai,
dan aku berenang di dalamnya sampai kehilangan nafas;
di bibirnya ada madu bercampur racun,
dan aku meminumnya sampai mabuk di dunia ini dan dunia yang lain.
Ketika ia menelanjangiku dengan pandangan,
aku menjadi seperti Adam di taman mula-mula;
telanjang tanpa malu, telanjang tanpa takut,
sebab cinta menghapus pakaian,
dan membalut tubuh dengan keberanian yang telanjang.
Aku menyusuri tubuhnya seperti peziarah menyusuri kota suci;
tiap lekuk adalah lorong pujian,
tiap lekukan adalah rumah ibadah,
dan tiap denyut adalah lonceng yang memanggilku untuk bersujud.
“Minumlah cintaku,” katanya, “sebab aku adalah bejana tak bertepi;
dan siapa yang minum dari bejanaku,
tidak akan kehausan lagi, melainkan akan haus selamanya.”
Aku meminum cintanya seperti meminum sungai yang mengalir ke lautan;
tak pernah cukup, tak pernah selesai,
sebab cinta yang sejati adalah api yang makan dirinya sendiri,
adalah lingkaran tanpa ujung,
adalah malam yang tak pernah lelah melahirkan fajar.
Maka aku berkata kepada para malaikat yang berkemah di langit:
“Tulis dalam kitab kalian:
lelaki ini telah mencintai perempuan itu lebih daripada hidupnya;
dan jika kelak hari penghakiman tiba,
biarlah cinta itu menjadi penolong di hadapan Takhta Yang Maha Tinggi.”
Dan para malaikat menjawab:
“Cinta yang murni tidak dicatat di atas kertas;
ia ditulis di tulang dan darah dan detak nadi;
ia adalah kitab yang hidup,
dan tubuh lelaki itu telah menjadi lembar-lembar kitab yang terbuka.”
Maka aku berbaring di atas tubuh kekasihku,
dan aku berkata:
“Jika malam ini aku mati, biarlah aku mati di pelukannya;
dan jika aku hidup seribu tahun lagi,
biarlah seribu tahun itu kuhabiskan untuk menyebut namanya.”