Anak-Anak Jujur

Anak itu tidak tahu siapa presiden sekarang, dan tidak pula peduli. Ia hanya ingin kencing. Ia tidak tahu kalau gambar wajah di spanduk itu wajah orang yang katanya pemimpin tertinggi, sebab yang ia tahu hanyalah bahwa kertas plastik itu lebar dan kosong, dan terpasang rendah di pagar sekolah yang sudah lama tidak dibenahi. Ia berhenti, membuka celananya, lalu memancurkan kencing yang kuning tua dengan bau seperti pagi yang tak mandi.

ibu-ibu penjual jajanan dan bapak-bapak tua yang main catur di warung kopi melihatnya dan tidak segera bereaksi. Mereka hanya diam sebentar, melihat, lalu tertawa kecil. Sebab mereka tahu, anak itu bukan sekadar bocah—ia adalah anak dari perempuan gila yang dulu melahirkan di emper kantor camat. Dan karena itu, ia dibolehkan melakukan hal-hal yang anak lain tidak boleh. Ia pernah menyumpahi polisi dengan kata-kata yang tak sopan, pernah melempar batu ke mobil dinas, dan tidak pernah dimarahi. Ia dianggap semacam kutukan kecil yang tak bisa dilawan.  Nama anak itu Samri. Umurnya tak jelas, antara delapan atau sebelas, tergantung siapa yang bertanya. Ibunya dipanggil Warti Gila, dan tidak ada yang tahu siapa bapaknya, meskipun banyak yang menebak. Dulu, kata orang, Warti adalah pegawai honorer yang gagal diangkat jadi PNS. Tapi siapa peduli. Yang penting kini ia gila dan punya anak, dan anak itu kini berdiri kencing di bawah wajah presiden, yang sedang tersenyum sambil mengacungkan dua jari, seolah ingin menang lagi padahal baru saja dilantik.

Kencing itu mengalir pelan, membasahi wajah pemimpin bangsa, merambat dari dagu hingga dagu plastik itu robek di bawah dagu aslinya. Di sekolah, Samri jarang datang. Dan jika datang, ia hanya duduk, tidak menulis dan membaca, hanya melihat papan tulis seperti ia melihat tembok penjara. Guru-guru tidak menyentuhnya. Kepala sekolah pernah mencoba memukulnya, namun Samri menggigit. Sejak itu, ia dibiarkan. Dianggap bagian dari fasilitas negara yang rusak dan tidak bisa diganti. Sesungguhnya, ia lebih mirip cermin kecil yang menunjukkan betapa pendidikan bisa gagal bahkan sebelum sempat dimulai. Dan sore itu, setelah selesai kencing, Samri duduk di atas got. Ia mengeluarkan plastik berisi nasi sisa dan tempe gosong dari warung Pak Min, yang memberinya makan sebab ia  pernah menyiram bensin ke dapur Pak Min sebab tak diberi sisa gorengan. sejak itu, ia diberi apa pun yang diminta, asal tidak menyulut lagi.

Di seberang jalan, ada kantor DPRD yang dicat putih namun tembok luarnya sudah ditumbuhi lumut. Mobil-mobil pejabat berjejer, plat merah dengan kaca gelap, seolah mereka sedang menyembunyikan Tuhan di dalamnya. Namun Samri tahu, yang ada di dalam mobil itu hanya lelaki-lelaki tua dengan perut besar dan suara palsu. Sebab sekali waktu, Samri melihat salah satunya membuka kaca dan meludahi pengemis. Ia ingat wajahnya. Dan ketika melihat wajah yang sama ada di baliho kampanye berikutnya, ia lempar batu. Ia tidak tahu arti politik, tapi tahu arti diludahi.

Di desa tempat Samri tinggal, banyak hal dianggap biasa meski tak seharusnya. Orang miskin boleh diludahi asal tidak melawan. Anak perempuan boleh digoda asal tidak teriak. Uang bansos boleh dikurangi asal masih ada yang tersisa. Dan karena itu, Samri dianggap semacam kelainan sebab ia tidak menerima semua itu sebagai biasa. Ia tidak tahu nama ideologinya, sebab ia belum bisa menyebut huruf “R” dengan benar. Tapi ia tahu kapan seseorang pantas dilempari batu. Dan malam itu, ketika ia tidur di emper kelurahan dengan tubuh hanya dibungkus jaket bekas bertuliskan “Sahabat Demokrasi”, ia bermimpi hal yang sama: ia berdiri di podium, di depan ratusan orang yang wajahnya semua kosong, lalu ia buang air besar. Kotoran itu jatuh tepat di atas undang-undang.

Esok paginya, spanduk itu dicopot. Dua orang satpol PP datang membawa tangga dan cutter, menggunting wajah pemimpin bangsa dari pagar sekolah seperti memotong kain. Salah satu dari mereka berkomentar, “Anjing, kencing pula bocah itu di bawah muka negara.” Yang lain hanya tertawa sambil meludah ke tanah, sebab ia juga tahu negara tak akan turun tangan kalau hanya urusan bocah gembel. Namun siang itu, datanglah mobil dengan logo kementerian dan plat berwarna hitam yang licik. Keluar dari dalamnya dua lelaki berseragam sipil, mengenakan batik dengan wajah yang terlalu serius untuk cuaca sepanas ini. Mereka tidak berbicara dengan warga, tidak pula menyapa kepala sekolah, melainkan langsung menuju kantor kelurahan dan memanggil semua perangkat desa untuk rapat mendadak. Yang dibicarakan bukan air kencing Samri, melainkan apa yang mungkin terjadi jika hal ini direkam dan disebarkan dan diviralkan, dan kemudian diolah menjadi amunisi politik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebab, dalam struktur masyarakat yang menyembah simbol, air kencing pada spanduk lebih berbahaya daripada air kencing di kepala rakyat.

“Ini bisa dianggap penghinaan,” kata lelaki batik itu sambil memegang map tebal.

“Siapa pelakunya?” tanya kepala desa yang wajahnya selalu tampak tahu segalanya tapi terlalu lembek untuk bertindak.

“Samri.”

Seketika semua orang di ruang itu diam. Nama Samri, seperti juga nama ibunya, punya bau. Sebab terlalu sering disentuh peristiwa dan gosip. Ia semacam luka lama yang ditutup koran, dan sekarang koran itu terbakar dari bawah.

“Kita tidak bisa menangkap anak kecil,” kata kepala dusun.

“Kita tidak menangkap,” jawab lelaki batik. “Kita membina.”

Dan kata itu—membina—menjadi pelicin yang membuat semua orang nyaman. Maka dicarilah Samri. Ketika mereka menemukannya, Samri sedang duduk di depan warung kopi sambil menatap seekor ayam yang pincang. Ia mengikatkan seutas tali ke kaki ayam itu dan tertawa sendiri, seolah sedang bermain dengan makhluk yang masih punya harapan. Mereka datang membawa mobil dan map, dan rencana.

“Kau yang kencing di spanduk?” tanya salah satu dari mereka.

Samri mengangguk. Tidak menantang. Tidak pula menyesal. Hanya menjawab.

“Kau tahu itu spanduk siapa?”

Samri mengangkat bahu.

“Itu presiden. Orang nomor satu. Pemimpin.”

Samri menjilat bibirnya yang kering. Ia menunjuk ke arah kantor kelurahan. “Yang tinggal di situ juga pernah bilang begitu. Tapi ia mukul ibuku waktu malam.”

Dan kalimat itu menghantam seluruh siang. Lelaki batik menyuruh Samri masuk ke mobil. Mereka bilang ini pelatihan, ini pembinaan, ini demi masa depan. Dan Samri tidak paham semua itu. Ia hanya tahu hari ini, dan hari ini ia diminta masuk ke mobil orang asing.

Di rumah, Warti Gila berdiri di depan pintu. Melotot matanya dan rambutnya basah oleh air selokan yang ia siram ke kepalanya sendiri. Ia menjerit, menyebut nama anaknya, menggigit bibirnya sampai berdarah. Tapi tidak ada yang menanggapi. Dan sore itu, semua kembali seperti biasa. Anak-anak bermain kelereng. Ibu-ibu memasak. Bapak-bapak mencaci harga beras sambil tetap membeli rokok. Spanduk itu berkibar lagi, lebih gagah dan tak tersentuh. Dan Samri  sedang duduk di ruang ber-AC bersama anak-anak lain yang dianggap liar, dibacakan Pancasila dan diajari cara mencintai lambang negara. Namun tidak ada yang bertanya apakah negara pernah mencintai mereka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top