Bayangan mulai hilang dari tubuh-tubuh. Tak semua orang sadar. Namun sejak malam ikan besi muncul di teluk, beberapa warga mengeluh tak bisa melihat bayangan mereka sendiri di air dan tembok dan kaca. Ada yang mengira itu masalah mata dan sebagaian menyebut tipu daya sihir. Seorang ustaz bahkan menyalahkan cermin-cermin buatan Tiongkok. Namun Jafar Bin Sekak tahu. Ia duduk di dermaga tua, diam seperti bangkai perahu yang menolak tenggelam, dan tahu persis ini bukan urusan mata. Ini urusan dosa yang tak mau dikubur. Bayangan, katanya, adalah tanda bahwa manusia masih diakui oleh dunia. Dan jika bayangan menghilang, itu artinya dunia mulai mencabut pengakuannya. Tanah tak lagi sudi diinjak. Laut tak lagi sudi menyambut pantulan wajah.
Laras menemukan kehilangannya di losmen tua peninggalan kolonial. Ia berdiri di depan cermin, tak ada pantulan selain dinding kusam dan gores yang menyerupai peta patah hati. Wajahnya hilang. Ia menyeringai. “Akhirnya, dunia pun muak padaku.” katanya.
Maya masuk membawa kopi hitam dalam gelas plastik. “Kau selalu mengutuk dunia seolah ia peduli.”
“Dan kau selalu percaya kopi bisa menyelamatkan pagi.”
“Setidaknya tak membuatku menampar bayanganku sendiri.”
Mereka duduk. Tak saling tatap. Di luar, suara pedagang gorengan lebih nyata dari hidup mereka.
“Bayanganku juga hilang,” kata Laras.
“Sudah lama. Kau cuma baru sadar sekarang.”
Sore itu mereka berjalan ke Lubang Guntur. Tempat itu sunyi dan hijau. Pohon jambu air tumbuh rendah, daunnya licin dan bau tanah. Air hitam di lubang itu tak bergerak. Hanya seekor kodok duduk diam di pinggirannya, seperti saksi bisu yang tak lagi diundang.
Jafar Bin Sekak duduk di sana, menggenggam seekor lintah. “Kalian sudah kehilangan bayangan?” Tanyanya kepada keduanya.
“Lalu?” kata Laras. “Kami harus meratap?”
“Tidak. Hanya perlu diam. Dunia tak mendengar tangisan.”
Maya menatap lubang. “Airnya gelap.”
“Air tak butuh cahaya. Hanya manusia yang sibuk memantulkan dirinya sendiri.”
“Apakah semua akan kehilangan bayangan?” tanya Laras.
Jafar membuka genggaman. Lintah itu merayap pelan, lalu jatuh ke air. “Yang tersisa,” katanya, “hanyalah lubang. Dan lubang tak pernah punya bayangan.”
Laras mendekat ke tepi. Ia menatap permukaan air dan tertawa. “Barangkali kita memang tak pernah ada. Hanya pantulan. Dan kini, bahkan pantulan pun menolak mengingat kita.”
Dan di atas mereka, kabut turun seperti selimut tua yang penuh bau keringat moyang. Membungkus mereka perlahan dan hilang.
Malam turun tanpa permisi. Di dalam sumur tua peninggalan kolonial, suara-suara mulai mendidih seperti air kencing yang direbus. Tidak terdengar dari telinga biasa. Namun bisa dirasakan oleh kulit yang belum disunat kenyataan.
Mereka bangkit.
Mereka bangkit dari ingatan yang ditinggalkan di lubang-lubang tambang. Dari lorong sempit yang dulu dipaksa dijalani dengan paru-paru yang penuh debu dan tulang yang dililit kontrak kerja. Para arwah buruh dan koeli Tionghoa yang dilupakan catatan sejarah dan dianggap hanya sejumput angka dalam laporan produksi logam. Mereka tidak bersuara, sebab suara mereka sudah dicuri sejak zaman Gubernur Jenderal masih bisa menyuruh matahari untuk terlambat terbit. Mereka punya bentuk tubuh yang bolong dan tangan menggenggam timah cair, dan mata merah seperti batu bara yang patah. Di dekat lubang bekas tambang yang kini ditumbuhi ilalang, seorang anak kecil melihatnya. Ia tak menangis. Ia sekadar duduk, menggambar di tanah. Gambar lubang dan kepala, dan tubuh yang tak punya kaki.
Maya datang pagi-pagi untuk meneliti lokasi. Ia membawa kamera dan catatan, dan niat baik. Tapi tanah menolak semua itu. Ia terpeleset di pinggir lubang. Hampir jatuh. Tapi seseorang—atau sesuatu—menarik tangannya.
Tak ada siapa-siapa. Maya menatap ke dalam lubang. Airnya menghitam. Tapi di dasar, ia melihat helm tua yangpecah, dan tangan kecil mencengkeramnya.
Jafar Bin Sekak tiba tak lama kemudian. Ia duduk di samping Maya tanpa suara, seperti pohon yang tumbuh tanpa disemai.
“Kau lihat mereka?” tanya Maya.
“Aku tidak melihat,” jawab Jafar. “Aku diingatkan.”
Maya menelan ludah. “Mereka ingin apa?”
Jafar menarik sebatang rumput, menggigit ujungnya.
“Mereka tidak ingin apa-apa. Mereka hanya ingin diakui pernah hidup.”
Maya mencoba bicara, tapi tak jadi. Lidahnya seperti digigit oleh ketakutan sendiri. Ia tahu, dalam lubang itu, ada sesuatu yang lebih tua dari pemerintah dan lebih benar dari sejarah, dan lebih marah dari Tuhan. Dan malam berikutnya, satu persatu warga desa mulai bermimpi. Mimpi yang sama. Mimpi tentang tubuh-tubuh yang bekerja tanpa matahari. Tentang tangan yang terus menggali walau tulangnya sudah tidak utuh. Dan pagi-pagi, di setiap rumah, ada suara aneh dari kamar mandi. Bukan suara air. Bukan suara tikus. Tapi suara: ketok, ketok, ketok.
Tiga kali.
Selalu tiga kali.
Dan tak pernah ada yang berani membuka pintu.
Malam-malam ketiga setelah suara ketukan terdengar di tiap kamar mandi, kota Laska mulai kehilangan arah. Jalanan tetap ramai. Warung buka, namun tak ada yang lapar. Dan langit terus mendung, seperti menyimpan rahasia yang enggan diucapkan. Maya dan Laras berjalan tanpa tujuan. Setelah malam panjang di lubang tambang, mereka tahu tidur hanya akan membawa mimpi yang bukan milik mereka. Maka mereka mengikuti kabar samar, bisik-bisik yang menyebutkan pasar yang hanya muncul ketika nyawa manusia sedang bimbang.
Pasar itu tidak dicari. Ia ditemukan.
Di tengah kota Laska, ada pasar yang tak muncul di peta. Orang menyebutnya Pasar Arwah sebab siapapun yang datang ke sana tak yakin mereka masih hidup. Pasar itu buka hanya menjelang subuh, ketika ayam belum sempat bermimpi dan para pejabat baru saja tertidur dengan perut kenyang dan kaki masih basah. Tak ada baliho dan harga tetap dan kuitansi. Di sana, yang dijual bukan barang, melainkan ingatan. Bau. Bisikan. Foto lama yang tak bisa dibakar. Sepasang sepatu bekas yang konon milik anak tambang yang hilang pada 1963, dab Sepiring nasi basi yang masih hangat.
Laras datang ke pasar itu untuk mencari jawaban. Namun yang ia temukan sekadarluka yang dijajakan seperti buah duku. Seorang lelaki tua, matanya tinggal satu, menawarkan padanya sebotol air mata. “Ini tetesan dari tanah yang gagal disumpah,” katanya.
“Aku tidak beli air,” jawab Laras.
“Ini bukan air. Ini peringatan.”
Maya menyusul, wajahnya masih menyimpan warna mimpi buruk yang belum selesai. Ia memandangi sekeliling. “Kau yakin ini bukan ilusi?”
“Kalau ilusi bisa membuatku mual begini, berarti ini lebih nyata dari pidato camat.”
Di ujung pasar, Dukun Jalil membuka lapak. Ia menjual debu dari rambut Jafar Bin Sekak juga tanah bekas duduk roh tambang, lengkap dengan sertifikat mistik dan tanda tangan palsu dari kepala desa. “Ini pengobatan spiritual berbasis kultural lokal,” katanya lantang. “Siapa pun yang merasa kehilangan bayangan, cukup tempel ini di jidat, dijamin kembali normal!”
Orang-orang antri. Beberapa tertawa. Beberapa takut. Beberapa hanya ingin percaya sesuatu agar tak gila.
Laras meludah ke tanah. “Kita ini pasar dosa,” katanya kepada Maya. “Dan satu-satunya barang yang tak laku adalah kebenaran.”
Dari kejauhan, Pak Camat Malidi muncul. Ia mengenakan baju safari bersih, senyum disetrika, dan tangan menggenggam mikrofon meski tak ada panggung. “Ini bagian dari penataan ekonomi kreatif!” katanya. “Roh-roh lokal adalah potensi pariwisata! Jangan sampai didahului investor luar!”
Maya menatapnya seperti menatap anjing berdasi. “Apa yang akan kau lakukan kalau mereka benar-benar datang?”
Pak Camat tertawa. “Siapa? Arwah? Hantu? Kita punya kerja sama dengan departemen agama dan kepolisian. Kalau ada gangguan, tinggal kita evakuasi rohaninya.”
Laras menarik Maya menjauh. “Orang seperti ia tak akan pernah sadar bahwa ia sedang ditonton. Dan yang menonton bukan manusia.”
Dan benar saja, kala itu, satu per satu wajah-wajah yang muncul di pasar tak dikenali siapa pun. Mereka datang dengan pakaian zaman dulu, dengan luka yang tak dijahit, dengan mata kosong seperti cekungan tambang. Mereka tak bicara dan membeli. Hanya berdiri. Menatap. Seolah pasar itu adalah pemakaman yang dipaksa hidup kembali. Dan mereka, para pengunjung terakhir, datang bukan untuk berdagang. Melainkan untuk menghitung siapa saja yang masih berutang pada tanah. Dan tanah, malam itu, terasa sedikit lebih berat. Sedikit lebih murung. Seolah menahan napas panjang, sebelum kembali meminta.
Laras dan Maya kembali ke losmen. Di belakang mereka, pasar itu menghilang seperti mimpi yang tak bisa diceritakan ulang. Dan keesokan harinya, yang pertama menghilang bukan lagi wajah. Tapi suara. Tak ada yang tahu kapan persisnya suara mulai menghilang, seperti huruf-huruf yang diculik satu per satu dari tenggorokan anak-anak. Awalnya para ibu mengira anak-anak mereka sedang malas bicara. Tapi setelah seminggu, ketika satu per satu bocah berhenti mengucapkan apapun kecuali tatapan, kota Laska mulai resah. Para guru mengeluh murid tak mau menjawab soal. Para dukun mulai membakar dupa lebih banyak. Dan Pak Camat Malidi memanggil wartawan untuk konferensi pers yang penuh tawa palsu dan kata-kata seperti, gangguan ringan perkembangan vokal.
Maya mendatangi salah satu keluarga. Anak itu, perempuan tujuh tahun, duduk di depan rumah dengan buku gambar dan pensil merah. Di setiap halaman, ia hanya menggambar satu hal: lubang. Lubang di tanah dan dinding dan dada.
“Kapan terakhir kali ia bicara?” tanya Maya.
Ibunya menjawab lirih, “Sejak mimpi tentang orang berkepala timah.”
Laras mendengar itu dan diam. Ia tak tertawa. Apalagi menyela. Ia hanya menggenggam botol kosong dan memandang ke jalan. Seekor anjing lewat, menggonggong tiga kali. Lalu mendadak diam.
Suara menjadi harta yang mewah. Orang-orang mulai menyadari bahwa langit tidak lagi memantulkan gema. Adzan terdengar setengah. Bel berbunyi lirih. Bahkan tangisan bayi pun terdengar seperti bisikan.
Jafar Bin Sekak berjalan di sepanjang sungai. Ia melempar batu ke air. Setiap kali batu jatuh, air tak mengeluarkan suara cipratan. Hanya riak diam. Seolah dunia sedang menyabotase inderanya sendiri.
Di sebuah kelas sekolah dasar, guru berdiri di depan papan tulis, membaca puisi keras-keras. Tapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Bibir bergerak, mata berkaca, tapi udara tetap beku. Dan di halaman sekolah, puluhan anak menggambar secara serempak. Mereka menggambar satu hal.
Perahu.
Perahu yang tidak berlayar. Perahu tanpa layar. Perahu yang duduk diam di tengah pasar. Dan di bawah perahu, bayangan panjang yang merambat ke setiap sudut kota.
Maya menangis pertama kali sejak kedatangannya.
“Ini bukan epidemi,” katanya kepada Laras. “Ini peringatan.”
Laras menjawab pelan, “Kita sudah kebanyakan peringatan. Yang kita butuh sekarang adalah keputusan.”
Maya menatap langit. Mendung. Seperti biasa. Tapi hari itu, ia merasa langit menatap balik. Seolah awan menyimpan rahang. Dan di seberang jendela losmen mereka, seorang bocah menatap Laras dan Maya. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat kertas gambar. Dan di atas kertas itu, tertulis satu kalimat.
“Kami hanya diam karena kalian tak mau mendengar.”