Kota Laska mulai berjalan seperti tubuh yang tak lagi percaya pada otaknya. Semua tetap bergerak—pasar buka, sekolah berjalan, kantor menerima laporan—namun rasanya seperti mayat yang menari tanpa jiwa. Suara masih tak kembali. Anak-anak tetap menggambar, orang dewasa semakin sering menunduk. Dan angin mulai membawa bau tanah yang terlalu basah untuk bulan itu.
Laras dan Maya menelusuri pinggiran kota, menyusuri jalan-jalan yang dulu berdebu dan kini berubah jadi lumpur tanpa hujan. Tembok-tembok rumah mulai retak. Beberapa pohon mangga tiba-tiba berbuah merah darah.
“Ini bukan musimnya,” kata Maya sambil menyentuh daun yang dingin.
Laras menatap langit. “Di sini, musim juga bingung kapan harus datang.”
Maya berhenti. Ia menatap Laras dari bawah rambut kusutnya, lalu berkata , “Kau sadar kita makin mirip dua perempuan yang tersesat dalam berita duka?”
“Kalau kita mati hari ini, setidaknya kita tidak perlu lagi baca baliho pemilu.”
Tawa mereka pendek dan getir. Seperti dua sendok yang saling bentur tapi tak ada teh di cangkirnya.
Mereka tiba di halaman belakang bekas rumah sakit tambang. Tempat itu sudah lama kosong. Catnya mengelupas namun bangunannya masih berdiri, meski dengan kemauan yang rapuh.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Maya.
“Karena di tempat ini tubuh-tubuh yang dilupakan pernah ditumpuk tanpa doa.”
Pintu belakang rumah sakit terbuka tanpa bunyi. Bau kapur barus dan darah kering menyambut mereka seperti salam dari zaman yang ingin hidup lagi. Di dalam ruangan bekas kamar mayat, ada deretan laci besi berkarat. Maya membuka satu pintu dengan pelan.
Kosong.
Ia buka yang lain.
Kosong.
Yang ketiga—berisi pakaian kerja tambang dengan nama bordir: Chong Wei Lin.
Maya terdiam dan bibirnya bergetar, namun tak ada kata keluar.
“Siapa?” Laras bertanya.
“Kakek buyutku,” jawab Maya. “Tak pernah ditemukan jasadnya. Hanya helm dan sabuk.”
Laras menyentuh kain itu. Ia dingin dan terasa seperti menyentuh tulang yang masih menyimpan dendam.
Lalu sesuatu berdiri di belakang mereka.
Bukan manusia. Tapi tak pula roh dalam bayangan cerita lama. Sosok itu mengenakan seragam yang sama dengan wajah hilang separuh dan suara seperti batu yang diiris pelan.
“Terima kasih sudah datang. Kami bosan jadi angka.”
Maya gemetar. “Apa yang kalian inginkan?”
“Hanya diingat.”
Laras mencibir, setengah takut setengah marah. “Kalau kau ingin dikenang, kenapa tidak ganggu camat saja?”
Hantu itu tertawa. . “Kami sudah.”
Satu per satu, sosok lain mulai muncul. Mereka tidak menakutkan. Tidak pula minta tumbal. Mereka hanya berdiri. Diam. Ada yang menggenggam sekop dab=n memeluk helm pecah dan menggenggam daftar gaji yang tak pernah dibayar.
Laras duduk di lantai. “Maya,” katanya ketakutan..
“Ya?”
“Kalau kita mati di sini, aku harap aku dikubur dengan wajah utuh. Aku tidak sanggup melihat diriku jadi potongan-potongan yang harus diterjemahkan orang lain.”
Dan malam itu, seluruh kota bermimpi bersamaan. Dalam mimpi itu, mereka berdiri di tengah lapangan. Di bawah mereka, tanah pecah. Dan dari celah-celah itu, muncul tangan-tangan yang mencari nama mereka.
Bukan untuk balas dendam.
Melainkan untuk diingat.
Malam setelah keluar dari rumah sakit tua, Laras dan Maya berjalan lama tak bicara. Hantu-hantu tambang tidak mengejar mereka. Pun mengganggu. Namun keheningan yang mereka tinggalkan membekas seperti asap dupa yang menolak bubar.
Mereka kembali ke losmen saat langit mulai berubah warna. Bukan merah senja. Melainkan merah seperti daging yang disayat dan belum sempat direbus dan mengucurkan warna seperti luka yang dibuka paksa oleh tangan tak dikenal.
“Aku tak pernah lihat warna seperti itu,” kata Maya.
Laras menatap lama. “Barangkali itu warna dari darah yang kita buang bertahun-tahun, dan langit sudah muak menampungnya.”
Keesokan harinya, kota mulai retak. Tembok-tembok sekolah mulai mengelupas, dan tanah di lapangan kantor camat terbuka sedikit demi sedikit. Di pasar, para pedagang mengganti harga dengan gambar: timun ditukar dengan ikan, telur ditukar dengan doa. Tak ada yang bicara dan tertawa. Namun semua tahu kota ini sedang digerogoti oleh sesuatu yang tak bisa ditangkap dengan sensor kamera.
Jafar Bin Sekak muncul lagi, di tengah lapangan yang kini retak. Ia berdiri seperti tiang listrik yang tak dialiri arus.
“Langit sudah memberi peringatan,” katanya.
Seorang wartawan dari Jakarta yang kebetulan sedang meliput berkata lantang, “Apakah ini bencana ekologis?”
Jafar menoleh pelan. “Ini bukan bencana. Ini surat balasan.”
“Balasan dari siapa?”
“Dari tanah. Dari tubuh-tubuh yang kalian kubur. Dari laut yang kalian setubuhi dengan logam. Dari anak-anak yang kalian bisukan demi sinyal.”
Wartawan itu tertawa kecut. “Ah, ini terlalu puitis. Rakyat butuh solusi, bukan sajak.”
Laras melangkah maju. “Dan kalian terlalu sering menyebut ‘rakyat’ padahal yang kalian maksud cuma statistik.”
Langit mengguntur serupa suara perut bumi yang lapar. Dan malam itu, darah benar-benar turun. Dan tak ada satu pun orang yang berani keluar rumah. Kecuali anak-anak. Mereka keluar tanpa kata dan menengadah dan tersenyum. Seolah mereka tahu ini bukan kutukan.
Ini adalah jawaban.