Aku menyelipkan rinduku
ke dalam saku celana—
biar tidak jatuh saat naik ojek.
Tiap pagi, rindu itu ikut berdesakan
dengan kunci motor, receh lima ratusan,
dan selembar doa kusut yang tak dikirimkan.
Pernah aku coba menyetrika rinduku,
agar lebih rapi dan tidak menyentuh pinggang,
tapi ia malah berpindah ke dada
dan memukul-mukul dari dalam,
seperti anak kecil ingin pulang.
“Kenapa tidak kau kirim saja lewat pos?”
kata seorang tukang fotokopi,
yang sudah hapal wajah rinduku
karena terlalu sering kulaminatingkan.
Tapi pos terlalu lambat.
Dan aku takut,
alamatmu sudah berubah jadi
rumah orang lain.
Jadi biar rindu ini tinggal di saku celana saja,
bersama koin receh dan doa-doa basi.
Toh suatu hari akan kucuci,
dan semoga—semoga—kau tetap ingat
bauku.