Ibu Kota di Ujung Pasar

Mereka memanggilnya Sumpil karena tak ada nama yang pantas untuk anak tanpa asal-usul. Ibunya melahirkannya di lantai rumah sakit, di sela jeritan pasien yang tak mampu membeli senyap. Ia tumbuh tanpa kartu keluarga dan sekolah,dan foto masa kecil. Ia tumbuh, dan itu saja sudah cukup membuatnya dianggap beban.

Pada umur sembilan, ia mulai menarik karung, sebab itu satu-satunya pilihan lain selain mati kelaparan. Di pinggir kota yang memelihara mal dan mesin ATM, Sumpil hidup dari kaleng kosong dan mie kadaluarsa yang dibuang karyawan kantor.

“Kenapa kau tidak mendaftar sekolah?” tanya petugas sensus.

“Aku tidak tahu hari ulang tahunku,” jawab Sumpil.


Malam di kota menyisakan lampu-lampu yang terlalu terang untuk orang miskin. Jalanan dibersihkan tiap hari, namun bau amis selalu kembali, menyusup dari got yang penuh pembalut dan sisa nasi bungkus, dan janji-janji kampanye.

Sumpil berdiri di depan gedung pemerintahan. Sebuah billboard berdiri menjulang, menampilkan wajah gubernur tersenyum di atas slogan: “Menuju Kota Beradab.” Di bawahnya, seorang nenek memungut puntung rokok sambil batuk darah.

Sumpil menulis dengan spidol hitam di trotoar: “Beradab bukan berarti berlapis aspal. Kadang justru bau mulut dari ruang rapat.”


Ia ditangkap setelah itu sebab  menulis di tempat yang tak boleh dikotori. Polisi menyebutnya pengganggu ketertiban. Jaksa menyebutnya pelanggar estetika kota.

Hakim bertanya, “Apa yang kau cari dengan tulisan kotor seperti itu?”

Sumpil menjawab pendek, “Aku ingin orang-orang yang tinggal di balik tembok kantor itu tahu kalau kami masih hidup.”

Ia dipenjara tiga tahun.


Di sel sempit yang dindingnya mengelupas, Sumpil menemukan halaman koran bekas yang menyebut pembangunan taman baru senilai lima miliar. Di kampung tempat ibunya tinggal, listrik hanya menyala dari jam tujuh sampai sembilan malam. Di desa tempat ia dulu mengais sisa beras, ambulans hanya datang jika mayat sudah dingin.

Sumpil tidak menangis, tidak mengutuk. Ia menandai kalimat demi kalimat, menyimpannya dalam ingatan yang tak butuh buku.

“Keluar nanti, aku akan menulis lebih banyak,” katanya pada seekor cicak di dinding.


Setelah bebas, ia kembali ke kota. Namun kali ini tidak sebagai pemulung, melainkan penulis jalanan. Ia membawa kaleng pilox dan menulis pada dinding kosong dan bak truk dan jembatan layang, dan tembok toilet umum. Pemerintah menyuruh orang menghapus tulisannya setiap malam. Tapi esoknya, tulisan baru muncul. Sumpil tidak tidur di tempat yang sama dua kali, tidak bicara lebih dari lima menit pada orang asing, tidak makan dari tangan yang mencium baju dinas.


Di sebuah pasar, seorang ibu kehilangan anak karena polisi menembak gas air mata ke arah yang salah. Di sebuah pabrik, dua buruh perempuan keguguran karena dipaksa lembur. Di sebuah aula, wali kota menerima penghargaan sebab dianggap berhasil menurunkan angka kemiskinan.

Sumpil mendatangi aula itu malam harinya dan menulis pada tembok luarnya:

“Angka tidak pernah kelaparan. Tapi tubuh kami bisa membusuk karena data palsu.”


Ia tidak masuk berita. Televisi lebih suka menyorot konser amal, sinetron religius, dan pernikahan artis. Polisi menyebarkan selebaran yang menyebutnya residivis. Seorang pendeta menyebutnya sesat. Seorang motivator menyebutnya kurang bersyukur.

Namun di kolong jembatan, di emper toko yang tutup, di bawah cahaya lampu jalan, anak-anak menirukan tulisannya. Mereka menulis dengan kapur dan arang, bahkan dengan darah luka lecet: “Hidup bukan perkara sabar, tapi perkara siapa yang terus ditendang.”


Malam itu hujan turun tanpa ampun. Sumpil menghangatkan diri di belakang warung nasi yang baru saja digusur. Di tangannya, sebotol cat semprot sudah hampir habis. Ia menggigil.

Seseorang bertanya, “Apa kau tak takut mati?”

Sumpil menjawab, “Yang mati cuma badan. Kalimatku tak pernah tidur.”


Esoknya, ia hilang.
Ada yang bilang ditangkap. Ada yang bilang disekap. Ada yang bilang ia melarikan diri ke kota lain. Tapi di bawah jembatan, di tembok tua pasar induk, satu kalimat masih tertulis dengan warna merah menyala:

“Negara ini bukan ibuku. Ia hanya perut besar yang menelan anak-anak lapar lalu berkata, sabar, ini demi pembangunan.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top