Namanya terlalu halus untuk isi kepala yang berisik. Ia bukan pelacur, bukan pula orang suci, hanya seseorang yang ingin sekali menyulut sebatang rokok tanpa merasa seperti sedang mengubur martabat ayahnya yang sudah wafat. Dan aku, lelaki bodoh yang terlalu sering mendengarkannya merengek soal moral, hanya duduk di sebelahnya, menunggu ia membakar dunia atau dirinya sendiri.
“Kau tahu,” katanya, “aku pernah mimpi merokok di tengah sawah, pakai gaun putih, rambut dikepang kayak anak perawan desa. Tapi setiap kali aku mau beli rokok, aku mikir: ‘nanti dibilang cewek nakal.'”
Aku menatap langit. Tidak ada Tuhan di sana. Hanya awan yang bergerak seperti siswa yang malas. “Kalau kau dibilang nakal hanya karena ingin merokok, aku curiga dunia ini dikelola oleh otak lelaki yang ketakutan pada perempuan yang tahu apa yang ia mau,” kataku.
“Aku capek dinilai,” katanya lagi. “Semua orang jadi juri. Padahal aku nggak pernah ikut kontes.”
Aku tak menjawab. Aku mengeluarkan sebungkus rokok, meletakkannya di tanah seperti sesajen. Ia menatapnya seperti menatap mayat masa kecilnya. Lama dan dingin dan nyaris marah.
“Aku takut,” katanya lagi.
“Kau tidak takut rokoknya,” kataku, “kau takut kata orang. Padahal yang paling berdosa bukan rokok, tapi rasa ingin menyenangkan semua orang sampai kau kehilangan rasa dirimu.”
Ia mengangkat rokok itu, namun tangannya gemetar. Seperti pertama kali mencuri, atau pertama kali mengaku mencintai orang yang tak layak dicintai balik.
“Apa jadinya kalau aku merokok?” tanyanya lagi. “Apa aku masih bisa dicintai?”
Aku tertawa getir. “Kau akan tetap dicintai. Tapi bukan oleh mereka yang hanya mencintai topengmu. Kau akan dicintai oleh mereka yang mencintai bekas luka di dalam kepalamu, dan bau asap yang keluar dari napasmu yang merdeka.”
Dan di detik berikutnya, ia menyalakan rokok itu. Api kecil di ujung batang itu seperti lilin dalam misa pemberontakan. Dan di tengah sawah, di bawah langit yang kotor oleh kabut, ia menghisap rokoknya seperti seorang janda muda yang baru saja mewarisi dosa nenek moyangnya.
“Rasanya biasa aja,” katanya kemudian.
“Karena yang luar biasa bukan rasanya,” jawabku, “tapi keputusanmu untuk tidak lagi menjadi boneka dari opini orang lain.”
Ia menatapku. Matanya tidak lagi seperti gadis yang takut salah langkah. Tapi seperti serigala betina yang akhirnya menemukan bahwa ia bisa berjalan tanpa rantai.
“Mungkin besok aku akan ditinggal semua orang. Tapi hari ini, aku tidak meninggalkan diriku sendiri.” Dan dengan itu, ia menghisap rokok kedua, lalu ketiga, lalu tertawa, lalu menangis, lalu diam. Di tengah sawah itu, tak ada yang menilai. Tak ada yang menepuk bahu, tak ada yang mencibir, tak ada yang memberkati. Hanya angin dan tubuhnya, dan kemerdekaan kecil yang ia curi dari Tuhan-Tuhan kecil bernama tetangga.
Aku menyulut rokokku sendiri. Kami duduk berdampingan. Tak berbicara lagi. Tak perlu. Malam turun serupa selimut murahan. Namun kami tak butuh kehangatan dari luar. Kami sudah hangus di dalam. Dan besok, ia mungkin akan disebut nakal oleh seribu mulut. Tapi malam ini, ia adalah dewi yang merokok di tahta lumpur, dan tak satu pun suara dunia bisa menjatuhkannya dari sana.