Perempuan yang Menyebabkan Wahyu Palsu

Di Klandestin Timur, kota yang berdiri di atas tanah bekas makam paus pertama yang bunuh diri, cinta bukan sekadar perasaan—ia adalah makhluk hidup. Ia tumbuh seperti jamur di dinding kamar mandi. Membusuk bila dibiarkan sendiri, dan membunuh bila terlalu sering digenggam. 

Di kota ini, angin bau garam bercampur asap pabrik mie instan menyusupi jendela-jendela rumah sejak pukul empat subuh. Dan pada hari itu—hari ketika segala kutukan tampaknya sedang main catur di atas kepala Dayat Gendeng—langit tampak seperti luka lama yang dibuka paksa dengan pisau dapur tumpul.

Dayat Gendeng, remaja usia tujuh belas yang tubuhnya kurus seperti ranting jambu, sedang duduk di atas genteng rumah neneknya yang sudah pikun sejak televisi terakhir di kota itu meledak karena terlalu sering menayangkan sinetron azab. Ia menggenggam sebungkus rokok murah, merk Harapan Palsu, yang dibelinya dari warung Barem, seorang perjaka tua, yang katanya bisa mengutuk ayam menjadi pelupa.

“Kalau cinta itu benar, kenapa rasanya seperti muntah darah?” tanya Dayat Gendeng pada asap yang keluar dari mulutnya.

Asap itu tidak menjawab, karena ia bukan makhluk halus yang bisa berdiskusi soal eksistensi. Tapi suara lain menjawab—suara dalam kepalanya, yang ia namai Bung, karena terdengar seperti lelaki setengah mabuk yang mengumpat setiap kali Dayat Gendeng menatap Anjani Kasih dari kejauhan.

“Karena lu goblok, Dayat Gendeng. Cinta itu bukan buat dilamun, tapi buat disembelih. Diikat, dibakar, terus dimakan mentah-mentah.”

Dayat Gendeng tertawa. Tertawa seperti anak kecil yang baru tahu bahwa semua peri di buku dongeng ternyata korban kekerasan rumah tangga. Ia tahu Bung bukan khayalan. Bung adalah semacam dewa kecil yang tinggal di dalam perutnya. Dewa cinta, mungkin. Atau dewa kehancuran dengan hobi menyamar jadi kasmaran.

Anjani Kasih. Nama yang terdengar seperti mantra kuno yang bisa membuat kambing melahirkan kucing. Perempuan yang, konon, lahir saat bulan merah menggantung di atas laut, malam ketika tujuh lelaki ganteng bunuh diri serentak setelah melihat matanya.

Ia bukan cantik dalam arti biasa. Wajahnya seperti lukisan yang dilukis pakai darah haid dan air suci. Bibirnya seperti sumpah serapah yang dibungkus madu. Dan setiap kali ia lewat di depan sekolah, para guru laki-laki mendadak lupa cara mengeja kata..

Dayat Gendeng jatuh cinta padanya sejak kelas satu. Atau mungkin sejak kehidupan sebelumnya, ketika ia adalah seekor tikus yang mati tersengat listrik di bawah ranjang gadis itu.

Tapi hari itu, sesuatu berbeda. Dayat Gendeng merasa, untuk pertama kalinya, ia harus berhenti diam. Harus berhenti mencintai dalam bentuk mengintip dari balik jendela perpustakaan sambil mengunyah mie goreng basi. Ia harus melakukan sesuatu.

Sesuatu yang radikal.

“Lu harus potong dia.”

“Potong apanya, Bung?”

“Bukan dia, bego. Potong cinta itu. Sembelih. Biar nggak hidup-hidup terus di kepala lu. Lu pikir dia bakalan suka sama anak yang tiap pagi masih pake celana dalam bolong?”

Dayat Gendeng mengangguk. Ia tahu Bung benar. Cinta tidak boleh dibiarkan liar. Ia harus ditaklukkan. Diikat. Disayat pelan-pelan seperti korban ritual.

Di ruang kelas, Anjani Kasih duduk seperti biasa—barisan ketiga dari depan, dekat jendela, tempat cahaya suka menyentuh pipinya lebih lembut daripada menyentuh orang lain. Ia menulis dengan tangan kiri, membentuk huruf-huruf latin seperti mantra gaib. Ia sesekali menggigit ujung pensil, dan setiap kali itu terjadi, jantung Dayat Gendeng meledak kecil dalam dada.

“Anjani Kasih,” gumam Dayat Gendeng dari pojok ruangan.

Tapi ia tak berani bicara. Tidak langsung. Tidak di dunia nyata.

Sore itu, setelah sekolah bubar dan langit berubah menjadi ungu kematian, Dayat Gendeng mengikuti Anjani Kasih dari jauh. Ia membawa sebuah kotak. Di dalam kotak itu, ada jantung ayam, bunga kamboja curian dari makam, dan surat cinta yang ditulis dengan tinta dari darah mimisan sendiri.

Ia ingin memberikannya langsung. Menyerahkan isi hatinya, secara harfiah dan metaforis.

Tapi saat Anjani Kasih masuk ke gang sempit dekat rumahnya, ia bertemu lelaki lain. Seorang laki-laki tinggi, bermotor, yang tubuhnya berotot seperti tokoh utama sinetron religi. Mereka berpelukan. Lalu bercium.

Dayat Gendeng diam. Tangannya gemetar. Bung di dalam perutnya tertawa terbahak-bahak.

“Nah, tuh. Mau gue bantu nyalain api? Biar kita bakar semua kenangan?”

Tidak ada yang benar-benar tahu kronologis hidup Dayat Gendeng. Segalanya seperti potongan-potongan surat kabar bekas yang dilempar angin dan tertempel di tembok-tembok kota: sebagian sobek, sebagian terbakar, sebagian tertulis dengan huruf kapital yang tak tahu malu.

Seperti pagi itu—yang sebenarnya terjadi setelah sore ia melihat Anjani Kasih mencium lelaki yang wajahnya seperti iklan sabun. Pagi itu, Dayat Gendeng duduk di kamar mandi, telanjang, memandangi cermin retak sambil menempelkan pisau cukur ke dada. Bukan untuk bunuh diri—ia terlalu penakut untuk itu. Ia hanya ingin tahu apakah cinta bisa dikeluarkan seperti kelenjar atau tahi lalat.

Di luar, suara ayam tetangga seperti makian Tuhan yang gagal total dalam mendesain makhluk hidup.

“Kalau cinta itu makhluk, mungkin dia sejenis kutu busuk,” katanya pada bayangannya sendiri. “Menempel di kasur tua, dan hidup dari darah orang tidur.”

Lalu Bung bicara dari dalam perut, dengan suara serak seperti penyair mabuk yang tertangkap mencuri bra di jemuran.

“Lu kebanyakan baca puisi. Cinta itu bukan kutu. Cinta itu semacam wabah. Dulu namanya corona, sekarang namanya Anjani Kasih.”

Anjani Kasih. Ah, Anjani Kasih. Perempuan yang tidak berjalan, tapi melayang satu senti di atas tanah. Yang punya tatapan seperti petugas sensus yang baru saja tahu semua data demografi itu palsu. Yang pernah membuat guru agama kehilangan iman, dan guru matematika kehilangan logika.

Dayat Gendeng pertama kali melihatnya—atau lebih tepatnya, jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri bernama obsesi—saat kelas satu. Anjani Kasih duduk sendirian di belakang perpustakaan, memungut serangga mati dan menguburkannya satu per satu dalam kotak korek api. Saat itu, Dayat Gendeng tahu: perempuan ini bukan manusia biasa. Ia adalah dewa kecil yang sedang menyamar. Atau iblis yang bosan membakar neraka dan memilih sekolah negeri sebagai tempat bermain.

Sialnya, cinta Dayat Gendeng bukan seperti cinta yang jinak. Cintanya adalah binatang liar yang dibesarkan dalam kandang sempit, diberi makan ilusi dan mimpi basah. Dan seperti semua binatang yang kelaparan, ia akan menggigit siapa pun—termasuk tuannya sendiri.

Beberapa hari setelah melihat Anjani Kasih berciuman dengan lelaki motoran itu—yang disebut-sebut punya ayah pejabat dan ibu paranormal—Dayat Gendeng mulai menjalankan ritual yang ia sebut Eksorsisme Cinta. Ia percaya cinta adalah setan, dan satu-satunya cara membebaskan diri darinya adalah dengan mengusirnya secara brutal.

Langkah pertama: berhenti menulis puisi. Ia membakar semua sajak yang pernah ia tulis tentang Anjani Kasih. Kamar tidurnya dipenuhi asap dan bau kertas gosong. Dari jendela, neneknya berseru:

“Kalau kau bakar cinta, hati-hati. Asapnya bisa membuat Tuhan menangis, dan setan ereksi.”

Langkah kedua: Dayat Gendeng pergi ke dukun kampung, Pak Dargo, yang terkenal bisa mengobati patah hati dengan cara yang radikal—mengganti nama orang yang dicintai dengan nama benda mati. 

“Kau panggil ia, ‘lemari es’ saja sekarang,” kata Pak Dargo sambil mengunyah sirih. “Jadi kalau rindu, tinggal buka pintunya, taruh es batu, tutup lagi.”

Tapi Anjani Kasih tak bisa jadi lemari es. Namanya terlalu indah. Terlalu beracun. Terlalu meledak dalam dada.

Dayat Gendeng pun memilih jalan lain.

Pada malam Jumat Kliwon, saat bulan menganga seperti mulut orang mati yang lupa dikafani, Dayat Gendeng naik ke atap sekolah. Ia membawa boneka kecil yang ia ukir dari sabun mandi, menyerupai Anjani Kasih. Ia menulis puisi terakhir di kertas pembungkus nasi, membungkus boneka itu, lalu menguburnya dalam pot bekas tanaman sekolah yang mati karena terlalu banyak disiram air seni.

Saat itu, ia merasa berhasil. Seolah cinta telah ia kubur. Seolah Anjani Kasih bukan lagi dewa atau iblis, tapi hanya buku absen dalam laporan kehadiran sekolah.

Tapi tentu saja, dunia tidak suka lelaki yang mencoba merdeka dari cinta. Dunia akan mengejar, menertawakan, dan melempar batu.

Tiga hari setelah ritual itu, Anjani Kasih menghampirinya. Pertama kali dalam sejarah hidup Dayat Gendeng, Anjani Kasih bicara padanya.

“Kau anak yang aneh,” katanya.

“Terima kasih,” jawab Dayat Gendeng, gemetar seperti anak ayam yang baru melihat kawat listrik.

 “Aku suka itu,” katanya. “Orang normal itu membosankan. Tapi kau seperti tokoh utama film horor yang masih perjaka.”

Lalu Anjani Kasih tertawa. Tawa seperti pisau. Tawa yang akan tinggal lama di kepala Dayat Gendeng, lebih lama dari doa neneknya atau kutukan Bung dari perut.

Orang-orang bilang, gila itu warisan. Di Klandestin Timur, gila itu tradisi.

Ayah Dayat Gendeng dulu tukang potong rambut keliling. Ia tidak pernah menikahi ibu Dayat Gendeng secara sah, tapi pernah menyatakan cinta lewat seikat rambut manusia yang ia kumpulkan dari lima belas kepala berbeda. Ibu Dayat Gendeng, yang katanya bisa melihat masa depan lewat gelembung sabun, tertawa saat menerimanya. Dua hari kemudian, ia menghilang—katanya kabur dengan seorang pendeta Budha yang tak percaya reinkarnasi.

Sejak itu, Dayat Gendeng diasuh neneknya, Mak Srilani, yang tiap malam berbicara dengan lemari. Ia percaya lemari itu suaminya yang bereinkarnasi, dan kadang mengancamnya dengan pisau dapur jika mencoba selingkuh dengan kursi kayu.

Dari keluarga seperti ini, Dayat Gendeng tumbuh tak tahu mana batas antara kenyataan dan halusinasi. Maka ketika Anjani Kasih masuk ke hidupnya, dengan mata seperti kolam berisi lintah dan suara seperti adzan palsu, Dayat Gendeng tidak mencintainya seperti orang normal. Ia mencintainya seperti orang kampung mencintai jin yang suka mencuri minyak goreng.

“Dayat Gendeng,” suara Anjani Kasih pada suatu siang yang tidak pernah benar-benar terjadi, “kau tahu kenapa aku tidak punya teman?”

Dayat Gendeng menggeleng. Matanya merah karena semalam ia tidur memeluk kipas angin yang menyala terlalu kencang.

“Karena aku jahat. Aku suka melihat orang jatuh cinta padaku, lalu aku tinggalkan. Itu hobi. Seperti orang main sudoku.”

“Lalu kenapa kau bicara padaku?”

“Karena kau tampaknya tipe orang yang akan terus mencintaiku bahkan setelah aku meludahi wajahmu dan menari-nari di atas kuburan anjingmu.”

“Aku tak punya anjing.”

“Bagus. Nanti kita beli dulu, lalu kubunuh.”

Mereka tidak sedang duduk di bangku sekolah. Mereka sedang berdiri di dalam kepala Dayat Gendeng. Dialog itu tidak pernah benar-benar terjadi, tapi entah mengapa lebih nyata dari semua pelajaran sejarah yang pernah ia hafal.

Pada malam ke-40 sejak ia melihat Anjani Kasih berciuman, Dayat Gendeng mulai bicara pada hewan mati. Tikus kering di got belakang rumah diajak diskusi. Cicak putus ekor dikubur dengan prosesi. Bahkan kecoa yang mati terbalik di bawah meja makan diberi nama: Anjani Kasih II.

“Kenapa cinta seperti ini, Bung?” tanya Dayat Gendeng pada mayat kecoa.

Bung menjawab dengan suara pelan, seolah takut mengganggu roh jahat yang tertidur di bawah ubin. “Karena lu nggak pernah belajar matematika. Kalau cinta dikali obsesi, hasilnya bukan bahagia. Hasilnya paranoia.”

Di sisi lain kota, Anjani Kasih tak benar-benar bahagia. Ia tahu ia cantik. Ia tahu lelaki ingin menjadikannya patung. Tapi ia juga tahu bahwa di balik semua itu, mereka hanya ingin menaklukkannya. Mereka tak mau mencintai Anjani Kasih, mereka hanya ingin menang atasnya.

Maka ia memilih menjadi badai. Menjadi bencana kecil yang bisa datang kapan saja. Ia mencium lelaki-lelaki seperti mencium kertas: untuk membuktikan tinta masih basah. Ia tak pernah serius. Tapi ketika ia melihat Dayat Gendeng—yang mencintainya dengan cara seperti mencintai racun—ia takut. Bukan karena cinta Dayat Gendeng terlalu dalam, tapi karena cinta itu terlalu jujur. Dan kejujuran adalah hal paling menjijikkan di dunia ini.

Pada malam ke-66, Dayat Gendeng menulis surat kepada toilet sekolah. Ia percaya lubang hitam di toilet itu adalah portal ke dimensi lain, tempat semua kenangan cinta disedot dan dilumat jadi abu.

“Kepada lubang yang setia menelan semuanya,
Kuberi kau kenangan:
Suara tertawa Anjani Kasih saat menyebutku aneh,
Ujung rambutnya yang pernah kusimpan di saku,
Dan mimpi tentang kami berdua, telanjang, menyanyikan lagu kebangsaan dalam bahasa jawa.”

Lalu ia menyiram.

Dan ia menangis.

Lalu ia tertawa.

Lalu ia muntah.

Itulah cinta, pikirnya. Tertawa, lalu muntah.

Tiga minggu kemudian, seseorang menemukan patung kecil dari sabun mandi di dalam pot tanaman sekolah. Di bawahnya, kertas pembungkus nasi yang berisi puisi tentang Anjani Kasih. Kepala sekolah mengira itu perbuatan sekte sesat. Guru agama mengatakan ini pertanda kiamat kecil. Tapi Anjani Kasih hanya tersenyum saat membaca puisi itu.

“Akhirnya ada yang mencintaiku seperti orang mencintai penyakit,” gumamnya.

Dan saat itu, entah kenapa, ia mulai memikirkan Dayat Gendeng. Memikirkan bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang mungkin sudah kehilangan akal sepenuhnya.

Malam ke-77. Dayat Gendeng tak lagi mencatat hari dengan kalender. Ia menandai waktu lewat benda-benda yang ia rusak. Gitar rusak: malam ke-45. Potret keluarga dibakar: malam ke-50. Kepala patung Yesus dipotong dan dijadikan tempat garam: malam ke-61.

Malam ke-77 ia menandai dengan hal yang lebih besar. Ia menyembelih seekor kambing di halaman belakang rumah neneknya. Bukan kambing sembarang, tapi kambing kurban milik tetangga yang belum sempat dipotong saat Idul Adha karena mereka sekeluarga kena tifus. Dayat Gendeng menyelinap seperti pencuri, lalu menyembelih seperti nabi yang kehilangan wahyu.

“Demi Anjani Kasih,” katanya sambil menarik pisau.

Darah menyembur seperti mimpi buruk yang tak sempat dibangunkan. Bung dari dalam perut mulai menjerit, “Lu udah gila. Gila sungguhan. Ini bukan cinta lagi!”

“Diam, Bung. Aku sedang membangun agama.”

Dayat Gendeng kemudian menulis di dinding dengan darah kambing:

“Anjani Kasih adalah nabi terakhir.
Aku adalah rasul-nya yang cacat.
Cinta bukan lagi perasaan. Ia kini agama. Dan aku menganutnya tanpa kitab suci.”

Di Klandestin Timur, kabar menyebar seperti kutukan: cepat, tak masuk akal, dan sering dilebih-lebihkan. Sehari setelah penyembelihan itu, orang-orang mulai bisik-bisik soal “anak gila yang mencintai perempuan seperti orang menyembah batu meteor”. Guru matematika berhenti mengajar dan mulai mengaji. Ibu kantin menolak jual gorengan kepada anak-anak yang menyebut nama Anjani Kasih.

Dan Anjani Kasih sendiri?

Ia bingung. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang tidak hanya tergila-gila padanya, tapi juga mendewakannya. Tapi yang lebih membuatnya merinding adalah: ia merasa nyaman. Seperti seorang diktator kecil yang akhirnya menemukan rakyatnya.

Lalu datang malam ke-88. Malam ketika Dayat Gendeng mengadakan upacara perkawinan. Tempatnya: kamar mandi sekolah, yang ia sulap jadi altar suci. Ia menggantung seragam sekolahnya di dinding seperti jubah imam. Di depannya, pot bunga berisi patung sabun Anjani Kasih yang kini memakai mahkota dari silet tumpul.

Ia berdiri di hadapan kaca, membacakan sumpah:

“Dengan ini aku menikahi Anjani Kasih, sang nabi, sang bencana, sang kematian kecil yang mengendap di setiap mimpi basahku. Aku bersumpah mencintaimu meski kau akan mencabut mataku dan menjadikannya kalung.
Aku bersumpah mendengar semua ucapmu, bahkan jika itu adalah perintah untuk bunuh diri. Aku bersumpah mencintaimu sampai tidak ada aku lagi yang tersisa.”

Lalu ia mencium cermin. Darah dari bibirnya menempel, dan ia tersenyum.

Dan di luar kamar mandi, seseorang melihat semua itu: Anjani Kasih.

Ia berdiri diam di ambang pintu, seperti hantu yang terlalu terkejut untuk menakut-nakuti. Ia menyaksikan Dayat Gendeng mencium pantulan dirinya sendiri dengan cinta yang lebih besar dari seluruh agama yang ia tahu.

Dayat Gendeng menoleh.

Dan dalam kesunyian yang tiba-tiba sangat riuh itu, hanya satu kata yang keluar dari bibir Anjani Kasih:

“Kau anjing.”

Dan Dayat Gendeng, dengan senyum penuh darah, menjawab:

“Mungkin. Tapi aku anjing yang hanya menggonggong pada satu bulan.”

Keesokan paginya, Dayat Gendeng dikeluarkan dari sekolah. Resmi. Pihak sekolah menulis di suratnya: “Mengancam stabilitas spiritual institusi pendidikan.” Kepala sekolah muntah dua kali saat membaca puisi Dayat Gendeng yang berjudul “Ejakulasi Kenabian: Surat Cinta untuk Penderitaan”. Para orang tua murid mulai memanggil anak-anak mereka pulang lebih cepat. Seorang guru olahraga pindah agama.

Anjani Kasih Pun jadi legenda. Tapi bukan legenda seperti biasanya.

Ia kini dikenal sebagai Perempuan yang Menyebabkan Wahyu Palsu.

Dan Dayat Gendeng?

Ia menghilang dari peta. Dari percakapan. Dari sejarah sekolah.

Orang bilang ia kabur ke gunung. Ada yang bilang ia membuka aliran sesat dan menikahi boneka sabun. Ada juga yang percaya ia bunuh diri dan rohnya gentayangan, berbisik di telinga anak-anak jomblo saat malam hujan. 

Tapi Anjani Kasih tahu, Dayat Gendeng masih hidup. Karena tiap malam, ketika ia menutup mata, ia melihat wajah itu—penuh darah, penuh cinta, penuh iman gila. Dan ia mulai bertanya-tanya:

“Apakah aku merindukan ia?”

Dan itulah tragedi sesungguhnya: ketika si dewa akhirnya jatuh cinta pada pemujanya—saat pemujanya sudah tak ada lagi.  

Anjani Kasih tak pernah benar-benar percaya pada cinta. Ia percaya pada manipulasi. Pada ketampanan. Pada cara senyum bisa digunakan seperti senjata biologis. Ia tahu semua itu karena ibunya dulu adalah mantan penyanyi dangdut yang nyaris menikah dengan dukun cabul, lalu kabur bersama sopir pribadi.

“Laki-laki cuma ada dua: yang membodohi, dan yang bisa dibodohi,” kata ibunya yang ia masih ingat sampai kapanpun.

Anjani Kasih tumbuh dengan filsafat murahan itu. Maka ketika ia sadar bahwa tubuhnya bisa membuat laki-laki kehilangan akal, ia menjadikan itu ibadah harian. Ia bukan pelacur, bukan pula gadis baik-baik. Ia semacam institusi: tempat semua khayalan lelaki mampir, hanya untuk dipatahkan satu per satu.

Namun Dayat Gendeng berbeda.

Bukan karena ia tampan. Ia tidak. Rambutnya seperti ilalang habis kebakaran. Bajunya selalu bau lem fox. Dan ia punya tatapan mata seperti anak ayam yang baru sadar dunia ini tidak adil.

Tapi yang membedakan ia adalah : Dayat Gendeng tidak ingin tidur dengannya. Ia ingin menjadi bagian dari tulangnya.

Anjani Kasih pertama kali sadar bahwa Dayat Gendeng terkutuk karena cinta padanya saat menemukan puisi ditulis dengan darah menstruasi di balik laci mejanya. Ia tahu itu darah haid karena ia pernah jadi aktivis sanitasi sekolah. Tapi puisinya indah. Terlalu indah untuk tidak dibaca keras-keras di dalam hati:

“Jika cinta adalah kutukan,
Biarkan aku jadi si dungu yang menulis mantera,
Dan menjadikan tubuhmu altar.
Sembelih aku, Sesayangku,
Sebagai hewan qurban yang rela dipuja sebelum disayat.”

Anjani Kasih tertawa. Lalu menangis. Lalu muntah.

Dan begitulah, ia mulai terobsesi. Tapi bukan pada Dayat Gendeng. Ia terobsesi pada reaksinya terhadap Remaja sinting itu. Ia merasa takut—dan itu sensasi baru. Selama ini ia selalu berdiri di menara gading, melihat para lelaki datang dan pergi . Tapi Dayat Gendeng memanjat menaranya dengan gigi, kuku, dan kehancuran batin.

Ia tak ingin Dayat Gendeng mati karenanya.

Tapi lebih dari itu—ia tak ingin Dayat Gendeng sembuh.

“Kau tahu, Dayat Gendeng,” katanya suatu malam, berbicara pada bayangan Dayat Gendeng yang tidak ada, “cinta darimu itu seperti kereta api yang salah jalur. Aku tak ingin naik. Tapi aku juga tak ingin ia berhenti.”

Ia tertawa keras.

Di balik tawa itu ada kepanikan yang tak bisa ia jelaskan. Dan dalam diam, ia mulai menulis puisi balasan. Pertama kalinya dalam hidup, ia menulis bukan untuk tugas sekolah, tapi untuk lelaki yang menganggap ia semesta.

Dayat Gendeng,
Jika aku adalah nabi,
Kau murid yang menuliskan ayat dengan darahmu sendiri.
Aku tak minta disembah,
Aku hanya ingin dimengerti sebagai bencana alami yang tak punya niat.

Malam ke-88: malam ketika ia melihat Dayat Gendeng menikahi bayangannya sendiri di kamar mandi sekolah.

Ia menyaksikannya mencium cermin seperti itu adalah satu-satunya kenyataan yang pantas dipercayai. Dan saat Dayat Gendeng menatapnya—dengan senyum lebih mirip luka terbuka daripada ekspresi bahagia—Ia mengerti:

Ia tidak akan pernah lepas dari bocah sinting ini.

Karena cinta macam ini bukan sesuatu yang bisa kau buang seperti pembalut kotor. Cinta ini akan tumbuh di langit-langit mulutmu. Merayap ke otakmu. Menghantui setiap percakapan kecilmu dengan diri sendiri.

Setelah Dayat Gendeng menghilang, Anjani Kasih mencoba kembali jadi dirinya yang lama. Ia mencoba tersenyum manis pada cowok lain. Tapi semua terasa palsu. Bibirnya kaku. Matanya ingin menangis tanpa alasan.

Lalu pada suatu malam, ia bermimpi Dayat Gendeng berdiri di depan jendela kamarnya, telanjang dada, memegang seekor burung merpati mati. 

“Ini lambang cintaku,” katanya. “Tapi kau tidak harus memeliharanya. Kau hanya harus menguburnya.”

Ia terbangun dengan mata merah dan celana dalam basah. 

Dan di hari ke-100 sejak Dayat Gendeng menghilang, ia Menggali halaman belakang rumahnya. Mencari sesuatu yang tidak pernah ditanam. Tapi yang ia yakin, pasti tumbuh. 

Hari ke-100. Hujan turun seperti orang mabuk: sembarangan, penuh teriakan, kadang muntah di atap rumah orang-orang suci. Anjani Kasih menggali halaman belakang rumahnya dengan tangan kosong. Ia tidak tahu apa yang ia cari. Mungkin tulang Dayat Gendeng. Mungkin cinta yang belum dikuburkan. Atau mungkin akalnya sendiri yang ia tanam malam saat Dayat Gendeng menyebutnya “nabi terakhir”.Tangannya penuh tanah. Kuku-kukunya patah. Tapi ia tertawa.

“Kalau aku memang nabi,” katanya lirih sambil menyeringai pada tanah basah, “kenapa tidak ada mukjizat yang menyelamatkanku dari kenangan ini?”

Lalu ia berhenti.

Tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Bukan batu. Bukan akar. Tapi logam. Ia menggali lebih dalam. Membuang tanah seperti membuang ingatan. Dan ia melihat: sebuah kotak besi, berkarat, dengan inisial yang dicoret kasar: D.G.

Ia membukanya. Di dalamnya: sehelai kertas lembab, tertulis dengan spidol hitam yang nyaris hilang karena waktu dan kelembapan. Tulisannya hancur, tapi terbaca:

Jika cinta ini salah Maka biarkan aku dikubur bersama kesalahan itu. angan selamatkan aku. Jangan tangisi aku. Jangan cintai aku. Kecuali kau bersedia mati juga.

Anjani Kasih memelototi surat itu.

Kepalanya seperti mau pecah. Hatinya menolak puitis, tapi tubuhnya mengerti betul arti kalimat itu. Ia memeluk surat itu seperti jenazah bayi. Ia menangis. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menangis bukan karena ingin dikasihani. Tapi karena ia tidak tahu harus apa.

“Dayat Gendenn kau bajingan terkutuk. Kau lebih dari lelaki. Kau penyakit.”

Ia pergi ke kamar mandi. Mengganti bajunya dengan seragam sekolah yang dulu dipakai Dayat Gendeng—ia pernah curi dari ruang BK. Ia pakai itu seperti jubah imam yang sedang kehilangan umat.

Ia berdiri di depan cermin. Sama seperti yang dulu Dayat Gendeng lakukan.

Tapi kali ini, ia tidak mencium bayangannya sendiri.

Ia menyilet wajahnya.

Satu garis. Lalu dua. Sampai darahnya menetes di wastafel seperti nada-nada rendah dari lagu requiem paling sunyi.

“Agar aku juga jadi kenangan. Agar aku juga jadi luka.”

Dan saat ia menunduk, ia lihat—di belakangnya, di dalam pantulan kaca yang retak—ada Dayat Gendeng. Berdiri, telanjang dada, rambutnya basah, memegang burung mati yang dulu ia mimpikan. 

“Kau sudah siap?” tanya Dayat Gendeng.

Ia tidak menjawab. Ia menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa.

Hanya cermin.

Dan dirinya.

Dan darah.

Ia terbangun di rumah sakit. Tangan terinfus. Wajah diperban. Perawat datang dan pergi seperti burung bangkai yang benar-benar lapar. Ibunya menangis di sudut ruangan, mengutuk semua hal kecuali Tuhan. 

“Anak gadis kok nyilet muka sendiri? Mau kayak siapa? Lady Gaga?”


“ia stres, Bu,” kata dokter. “Ada indikasi trauma, kemungkinan skizofrenia ringan.”


“Skizo apa? Itu kutukan dari bapaknya!”

Anjani Kasih mendengar semua, tapi rasanya seperti mendengarkan radio rusak di ujung dunia. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin tidur. Di dalam tidur, Dayat Gendeng masih hidup. Dan ia masih bisa bertanya hal-hal bodoh:

“Kalau aku mati, Dayat Gendeng… kau akan bunuh diri juga?”


“Nggak. Aku akan hidup. Buat nyeritain kisah kita, kayak nabi yang gagal.”

Seminggu kemudian, Anjani Kasih keluar dari rumah sakit. Wajahnya masih luka, tapi ia minta jangan ditutup. Biarkan dunia lihat bahwa ia juga bisa rusak. Ia kembali ke sekolah hanya untuk berdiri di tengah lapangan dan menyanyikan lagu mars sekolah dengan suara parau, diiringi tawa teman-teman yang pura-pura peduli.

Dan saat itulah, ia dengar kabar: seseorang melihat Dayat Gendeng.

Di Terminal. Tengah malam. Sendirian. Menjual sabun berbentuk patung perempuan.

“Katanya dia jual sabun yang bisa bikin orang jatuh cinta,” bisik siswi kelas sebelah.


“Sabunnya bisa bikin mimpi basah berisi Anjani Kasih,” kata cowok pecinta anime.

Anjani Kasih tidak tertawa. Ia tahu, itu pasti Dayat Gendeng.

Dan malam itu juga, ia ke Terminal. Sendirian. Tak bawa apa-apa kecuali wajah luka dan keberanian yang sekarat.

Terminal Kudung seperti tempat pembuangan orang-orang patah. Bau busuk, tangis anak kecil, dan pengamen yang menyanyikan lagu Dewa 19 dengan suara seperti ayam sekarat. Di ujung terminal, duduklah iia: Dayat Gendeng.

Hidup. Kurus. Matanya cekung seperti lubang neraka yang tak jadi digali. Ia duduk di tikar plastik, menjajakan sabun-sabun kecil berbentuk kekasihnya. Setiap sabun ada ukiran tulisan:

“Cinta yang terlalu dalam tak bisa dipakai mandi.”

Anjani Kasih mendekat. Dayat Gendeng menoleh. Tak kaget. Seolah memang menunggu sejak awal.

“Kau datang,” katanya.


“Aku mimpi kau minta aku datang,” jawab Anjani Kasih.

Mereka diam. Dunia berputar, tapi rasanya semua beku. Terminal itu bukan lagi tempat nyata. Ia berubah jadi altar. Mereka adalah imam dan dewi, pendosa dan hukuman.

“Kenapa kau jual sabun berbentuk aku?”


“Karena aku tidak bisa jual diriku sendiri.”

Anjani Kasih duduk di hadapannya. Ia ambil satu sabun, cium, lalu lempar ke selokan.

“Kau tahu, Dayat Gendeng?” katanya. “Kalau aku mencintaimu, aku akan mati.”


“Kalau aku mencintaimu lebih lama, aku akan jadi Tuhan,” kata Dayat Gendeng

.
“Lalu kenapa kita tidak bunuh satu sama lain sekarang juga?”


“Karena kita masih ingin saling menyiksa.”

Dan mereka tertawa. Keras. Gila. Seolah seluruh penderitaan mereka adalah lelucon yang tak sempat ditulis oleh pengarang.

Malam itu mereka tidak berciuman. Tidak saling peluk. Tidak bercinta.

Mereka hanya duduk berdampingan. Memandang jalan. Mengingat mimpi. Dan diam-diam, merasa tenang. Dan di dalam kepala Anjani Kasih, satu kalimat berbisik pelan:”Cinta yang paling jujur adalah cinta yang tak pernah sempat jadi.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top