Waktu Isma jatuh dari lantai dua gedung kosong yang dulunya kantor Lurah dan kini sarang pecandu, tak satu pun dari mereka yang menyaksikan kejadian itu merasa bersalah. Mereka hanya menengok sebentar, saling tuding, lalu menyulut lintingan terakhir yang tinggal separuh, sebab memang sejak malam sebelumnya tak ada lagi yang cukup sadar untuk bertanya kenapa anak perempuan tiga belas tahun itu memanjat tembok, berdiri di bibir lantai berlumut, dan menjatuhkan tubuhnya sendiri tanpa satu pun teriakan, seolah tubuhnya lebih rindu mati daripada mulutnya ingin hidup.
Isma bukan anak siapa-siapa, atau lebih tepatnya semua orang pernah menganggap dirinya anak, namun tak ada satu pun yang benar-benar mengakuinya. Ia pernah tinggal bersama Mak Leha, janda tua yang menjual nasi sambal pete dan memaki langganannya sendiri karena tak tahan bau keringat orang lapar. Ia juga pernah dibawa ke masjid oleh Pak Kiai, katanya supaya bisa mengaji, padahal hanya dijadikan pelayan kecil yang mengepel lantai mushola sambil sesekali disentuh bokongnya. Ia pernah tinggal di rumah petak milik Pak Dirun, sopir angkot yang gemar memelihara burung dan memaki istrinya sendiri karena tak bisa membedakan kicau murai dan cucak rowo.
Namun semuanya hanya sementara, sebab Isma tak pernah benar-benar betah dan lebih sering lari ketimbang diusir. Ia lari dari mulut Mak Leha yang asin seperti tenggiri tua, dari tangan Pak Kiai yang gemetar saat menyuruhnya duduk di pangkuan, dari pandangan Pak Dirun yang terlalu sering singgah di dadanya yang belum tumbuh tapi sudah digoda dunia. Ia lari tanpa tahu ke mana, sebab lari sudah jadi bentuk hidupnya. Lari dari tangan-tangan yang mengaku melindungi tapi mencubit dan mencolek dan meraba, dan menyentuh seperti pemilik mainan yang tak sabar ingin tahu bagian dalamnya.
Demikian Isma tumbuh tanpa benar-benar bertambah tinggi, sebab tubuhnya tetap kecil, kulitnya tetap pucat, dan matanya tetap cekung seperti anak yang belum tidur tiga hari. Sesungguhnya ia pernah mencoba sekolah, atau lebih tepatnya pernah duduk di kelas satu SD sampai suatu hari ia berdiri di depan kelas dan memekik, “Bu Guru kentut!” karena memang saat itu sang guru kentut dan baunya sangat tidak bisa dimaafkan. Sejak hari itu Isma tak pernah kembali ke sekolah sebab ia lebih percaya bahwa dunia yang busuk tak perlu disaring lewat pelajaran.
Namun hari ia jatuh dari lantai dua, tak ada yang menyebutnya bunuh diri. Mereka menyebutnya kecelakaan. Mereka bilang Isma terpeleset. Mereka sepakat ia kehilangan keseimbangan saat mencoba menyelamatkan seekor anak kucing. Mereka bilang begitu sebab lebih nyaman menyebut kematian sebagai nasib, daripada mengaku bahwa seluruh hidup Isma adalah rangkaian penolakan yang disengaja. Padahal, siapa yang peduli seekor kucing? Bahkan si kucing sendiri tak tampak peduli, sebab setelah Isma terjatuh dan kepalanya pecah di trotoar, kucing itu menjilat kaki belakangnya sendiri lalu pergi entah.
Namun Isma tidak mati. Atau, lebih tepatnya: ia mati sebentar, lalu hidup kembali.
Ia dibawa ke rumah sakit, dikira mayat, dimasukkan ke kamar jenazah, dan tiga jam kemudian bangun seperti orang bangun tidur dari mimpi buruk yang terlalu panjang. Suster yang menemukannya pingsan dan dokter yang datang kedua kalinya nyaris melempar stetoskopnya sendiri, dan kabar tentang Isma yang hidup kembali menyebar lebih cepat dari kabar soal istri Lurah yang kabarnya hamil padahal suaminya sudah tujuh bulan tinggal di Bandung.
Sejak hari itu, orang-orang memperlakukannya seperti jimat. Ada yang menyebutnya utusan Tuhan, ada yang bilang ia anak setan. Ada pula yang percaya ia jelmaan Nyai Roro Kidul sebab kulitnya pucat dan rambutnya panjang seperti tak pernah disisir. Namun tak satu pun dari mereka yang benar-benar bertanya: apa yang Isma rasakan setelah mati dan hidup kembali? Sebab mereka hanya peduli kepada keajaiban, bukan kepada rasa sakit yang membuatnya terjadi. Dan Isma tahu itu. Ia tahu ia tak lebih dari cerita untuk dibagikan, bahan obrolan di warung kopi, bahan takut-takutan anak-anak sore hari, bahan percakapan orang dewasa saat bercinta dan bosan, dan bahan renungan para pecundang yang tak punya nyali mati tapi juga tak tahu bagaimana cara hidup. Maka ia mulai menjual dirinya. Bukan tubuhnya—sebab ia tahu tubuhnya belum cukup laku—tapi kisahnya. Ia menjual kisahnya dengan harga lima ribu per kepala. Duduk di warung kopi dan membiarkan siapa saja bertanya, lalu ia akan menjawab sesuka hatinya, kadang dengan kebohongan, kadang dengan puisi, kadang dengan diam yang lebih menyakitkan daripada semua jawaban.
Suatu hari, seorang lelaki bernama Rengo datang dan menawarkan pekerjaan. “Mau nggak ikut saya?” katanya. “Saya butuh orang yang bisa pura-pura mati. Buat pertunjukan. Buat bisnis. Buat bikin orang percaya kalau dunia ini lebih ajaib dari yang mereka sangka.”
Isma mengangguk, bukan sebab ia percaya lelaki itu, tetapi sebab ia tak punya alasan untuk menolak.
Maka dimulailah pertunjukan itu. Isma dibaringkan di peti mati, dipulas dengan bedak jenazah, dibakar dupa, dikubur separuh tubuhnya, dan ditaburi bunga tujuh rupa. Lalu, tepat ketika semua orang mengira ia betul-betul mati, ia akan membuka matanya dan tertawa. Kadang ia menangis. Kadang ia mengigau. Kadang ia berteriak seperti kesurupan. Kadang ia menyebut nama-nama yang tak pernah ada, sebab ia tahu orang lebih percaya kepada hal-hal yang tak masuk akal daripada kenyataan yang terlalu sederhana. Namun pertunjukan tak selalu berjalan mulus. Suatu kali ia dilempari batu oleh jamaah masjid yang percaya ia adalah dajjal. Suatu kali ia hampir dipukuli oleh pendeta yang yakin ia sedang merusak iman jemaat. Pernah juga ia disiram air keras oleh seorang istri yang mengira suaminya jatuh cinta pada “setan kecil berambut panjang” itu. Dan suatu hari, Rengo datang membawa dua orang laki-laki bertubuh besar. “Kita dapat proyek besar,” katanya. “Kamu akan dikubur hidup-hidup. Tapi jangan khawatir, kita akan gali kamu malamnya.” Isma tidak bertanya. Ia hanya mengangguk. Namun malam itu hujan turun, dan tanah longsor. Mereka tak sempat menggali. Mereka kabur. Dan Isma terkubur betulan. Namun, lagi-lagi, ia tidak mati. Tiga hari kemudian, seorang pemulung menemukan tangannya menjulur keluar dari tanah, mencengkeram akar seperti anak ayam mencengkeram bayangannya sendiri. Ia digali dan diseret, dan dibawa ke warung, lalu diberi kopi.
“Kenapa kamu masih hidup?” tanya si pemulung.
Isma menjawab, “Karena belum ada yang benar-benar ingin aku mati.”
Dan sejak itu, ia tak bicara lagi. Ia hanya berdiri di perempatan jalan, membawa papan bertuliskan: “Saya sudah tiga kali mati. Tolong bantu saya benar-benar mati.”
Orang-orang melempar koin, kadang permen, kadang makian. Ada pula yang menawarkan pekerjaan di sinetron, jadi hantu yang tak mau pergi. Ada yang minta nomor togel. Ada yang meludahinya sambil membaca doa. Namun ia tak bereaksi. Ia hanya berdiri. Seperti patung yang menunggu dipahat lebih dalam. Dan mereka tak pernah tahu bahwa Isma bukan sekadar ingin mati. Ia ingin dilupakan. Sebab hanya dengan dilupakan, ia bisa benar-benar pergi. Dan tak ada yang benar-benar melupakan anak yang tiga kali bangkit dari kematian.
Mereka terus bercerita. Mereka terus mengulang. Mereka terus menulis kisahnya di tembok WC umum, di kolom komentar, di lirik lagu, di balik bungkus rokok. Dan Isma tetap berdiri, hingga suatu pagi tubuhnya tidak ada. Papan itu masih ada. Tapi tubuhnya tidak. Hanya ada bekas telapak kaki yang menjejak ke arah selokan. Dan kabar yang mengatakan: “Ia berubah jadi kabut. Ia jadi arwah penjaga kota. Ia kembali ke alamnya.” Padahal sesungguhnya, ia hanya menyelinap pergi, masuk ke dalam lumpur, menjadi cacing, lalu dimakan burung, lalu dimakan kucing, lalu dikencingi anjing, dan akhirnya lenyap dari dunia tanpa jejak. Sebab hanya itu satu-satunya cara agar manusia berhenti mengulang cerita yang bahkan tak pernah mereka pahami.
Dan cerita ini pun harus diakhiri di sini. Sebab jika terus diceritakan, maka Isma tidak pernah benar-benar mati.